Ketika Bahasa Daerah Jadi Penghalang di Ruang Kuliah

Bahasa adalah jembatan utama dalam proses belajar mengajar. Melalui bahasa, pengetahuan mengalir dari dosen ke mahasiswa, dari teks ke pemahaman, dari konsep ke praktik. Namun, tak semua jembatan itu mudah dilalui. Dalam kehidupan perkuliahan, ada satu masalah yang sering muncul tapi jarang disadari, yaitu penggunaan bahasa daerah di ruang kelas.

(Sumber: Canva Photos) 

Di banyak kampus, terutama yang berada di daerah dengan budaya lokal yang kuat, penggunaan bahasa daerah sering dianggap hal biasa. Dosen terkadang menyelipkan istilah, lelucon, bahkan penjelasan penuh dalam bahasa Sunda, Jawa, Bugis, Melayu, atau bahasa lainnya. Niatnya baik, ingin menciptakan suasana yang akrab dan terasa dekat dengan mahasiswa (Noermanzah, 2019). Bahasa daerah memang punya daya hangat yang tidak dimiliki bahasa formal, ada rasa kedekatan dan kekeluargaan di dalamnya.

Namun, keakraban itu bisa menjadi masalah ketika di kelas terdapat mahasiswa dari berbagai daerah. Mahasiswa yang tidak memahami bahasa tersebut sering kali kebingungan. Mereka kesulitan mengikuti alur pembelajaran, kehilangan fokus, bahkan enggan berpartisipasi dalam diskusi. Dalam sosiolinguistik, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tapi juga simbol kekuasaan dan penerimaan sosial (Wardhaugh, 2006). Ketika satu bahasa mendominasi, yang lain bisa merasa terpinggirkan.

Bahasa dan Ketimpangan Pemahaman

Dalam kampus yang multikultural, dominasi satu bahasa daerah bisa menciptakan ketimpangan pemahaman. Mahasiswa yang bukan penutur bahasa itu sering kali harus berjuang sendiri, menerjemahkan maksud dosen, menebak konteks, atau bertanya pelan-pelan pada teman sebangku setelah kuliah selesai. Akibatnya, pemahaman mereka terhadap materi menjadi tertinggal.

Hambatan bahasa juga berpengaruh pada motivasi belajar. Studi menunjukkan bahwa perbedaan bahasa dapat menurunkan rasa percaya diri dan semangat mahasiswa (Krashen, 1982). Mereka bukan tidak mampu berpikir kritis, mereka hanya kesulitan menembus dinding bahasa yang digunakan di kelas.

Sementara itu, dosen kadang tidak sadar bahwa cara penyampaiannya membuat sebagian mahasiswa tertinggal. Ia merasa semua orang memahami, padahal sebagian hanya diam agar tidak dianggap “tidak nyambung”.

Bahasa Daerah: Antara Kekayaan dan Tantangan


Kita tentu tidak bisa menafikan bahwa bahasa daerah adalah bagian dari kekayaan budaya Indonesia. Bahasa adalah identitas dan warisan leluhur (Keraf, 2004). Melalui bahasa daerah, nilai-nilai lokal bisa terus hidup di tengah derasnya arus globalisasi. Dalam dunia pendidikan pun, penggunaan bahasa daerah kadang justru membantu mencairkan suasana dan membangun kedekatan sosial.

Namun, di ruang akademik, prinsip inklusivitas harus tetap dijaga. Kampus adalah ruang terbuka bagi siapa pun, dari mana pun. Jika bahasa daerah digunakan secara berlebihan tanpa memperhatikan keberagaman mahasiswa, ia bisa berubah menjadi tembok, bukan jembatan. Mahasiswa dari luar daerah bisa merasa asing, bahkan enggan untuk terlibat aktif.

Karena itu, dosen perlu memiliki kesadaran linguistik, kesadaran bahwa bahasa tidak hanya menyampaikan makna, tapi juga membentuk hubungan sosial. Bahasa Indonesia sebaiknya tetap menjadi pengantar utama, karena fungsinya sebagai lingua franca yang menyatukan berbagai latar budaya di Indonesia (Alwi, 2003).

Menuju Lingkungan Belajar yang Inklusif

Solusi dari masalah ini bukanlah meniadakan bahasa daerah sama sekali, tetapi menempatkannya pada porsi yang tepat. Bahasa daerah bisa digunakan untuk membangun suasana hangat, memberi contoh lokal, atau mencairkan suasana. Namun, penjelasan inti dan konsep akademik tetap perlu disampaikan dalam bahasa Indonesia agar semua mahasiswa bisa memahami dengan setara.

Selain itu, perguruan tinggi juga perlu membangun budaya sadar bahasa. Mahasiswa harus dibiasakan untuk saling menghargai perbedaan linguistik, tidak menjadikannya bahan candaan atau pemisah sosial, melainkan kekayaan yang memperkaya proses belajar bersama.

Bahasa daerah adalah cermin keberagaman dan kebijaksanaan lokal. Tapi dalam ruang kuliah yang multibahasa, ia harus dikelola dengan bijak. Jika digunakan berlebihan, bahasa bisa menjadi penghalang. Namun jika ditempatkan dengan tepat, ia bisa menjadi jembatan, bukan hanya antara dosen dan mahasiswa, tapi juga antara identitas dan pengetahuan.

Penulis: Ghufran



Referensi:

Noermanzah. (2019). Bahasa dan Kepribadian dalam Konteks Pendidikan.
Wardhaugh, R. (2006). An Introduction to Sociolinguistics. Blackwell Publishing.
Krashen, S. (1982). Principles and Practice in Second Language Acquisition. Pergamon.
Keraf, G. (2004). Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.
Alwi, H. (2003). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Balai Pustaka.

1 Komentar

Halo sobat Aksara!
Jika mari berkomentar dengan memberikan gagasan atau pendapat yang terbaik, kita jauhi komentar yang mengandung hal yang tidak diinginkan yaa!

  1. Mā Syā Allāh, sungguh kantung Aspirasi yang sangat menggugah Relung jiwa dan menyapa sang Nahkoda Tubuh

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama