Kurban: Manifestasi Syukur, Keikhlasan, dan Ketakwaan

(Sumber: Pinterest) 

Garut, Aksara— Umat Islam memiliki dua momentum istimewa yang dirayakan setiap tahunnya, yaitu Idulfitri dan Iduladha—dua hari besar yang bukan sekadar perayaan, tetapi juga sarat akan makna spiritual. Jika Idulfitri merupakan penanda kemenangan setelah satu bulan berpuasa, memperbanyak amal kebaikan dan menahan diri dari hal-hal yang tidak baik; maka, Iduladha adalah momentum istimewa yang mengingatkan umat pada hakikat pengorbanan, meluruskan hati, melangitkan syukur, dan memaknai ketidakmudahan—sebagai ujian—dengan kacamata ketaatan kepada Allah.

Menurut bahasa, kurban berasal dari bahasa Arab, yaitu al-qurbanu (القُرْبَانُ), diambil dari kata قَرُبَ (qaruba) yang berarti dekat, yaitu sesuatu yang dipersembahkan kepada Tuhan, baik berupa barang yang disedekahkan atau dalam bentuk melakukan ibadah tertentu. Namun kata ini lebih banyak dipahami dalam arti mempersembahkan sesuatu yang bersifat material .  

Nama lain dari kurban adalah: 

  1. udhiyah atau udhiyyah
  2. idhiyah atau idhiyyah
  3. dhahiyah, jamaknya dhahaya
  4. adhah, jamaknya adha. 

Oleh karena itulah hari raya kurban disebut sebagai yaumul-adha atau Iduladha. Syaikh Athiya Saqar dalam Fatawa Al-Azhar mengatakan bahwa sembelihan pada hari raya kurban dinamakan udhiyah karena disembelih pada waktu dhuha.

Secara syara’, kurban atau dhahiyah adalah nama hewan unta, sapi, atau kambing yang disembelih pada hari raya Iduladha dan pada tiga hari tasyriq sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah . 

Dari pengertian tersebut, kurban dimaknai bukan hanya sekadar ritual keagamaan, bukan sekadar membeli hewan kurban dan menyembelihnya. Lebih dari itu, kurban adalah ajang bagi umat Islam untuk lebih ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah; tunduk dan taat pada perintah-Nya dengan tulus ikhlas dalam beramal.  

Untuk memahami lebih lanjut makna spiritual yang terkandung dalam ibadah kurban ini, dapat dilihat dari ayat-ayat yang memberikan perspektif mendalam tentang makna kurban.

Pertama, dalam Al-Qur’an, Allah membingkai perintah berkurban sebagai manifestasi rasa syukur, sebagaimana tercantum pada surat Al-Kautsar [108]: 2:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنْحَرْ 

Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah).

Perintah salat dan berkurban pada ayat kedua surat Al-Kautsar ini merupakan wujud nyata rasa syukur seorang hamba kepada Rabbnya yang telah memberikan limpahan nikmat yang banyak, baik bersifat spiritual—berupa kemampuan untuk beribadah—maupun yang bersifat material, seperti harta, kedudukan, dan jabatan .

Kedua, Allah berfirman pada Q.S Ash-Shaffat [37]: 102 sebagai dasar historis disyariatkan Iduladha:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعْىَ قَالَ يَـٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلْمَنَامِ أَنِّىٓ أَذْبَحُكَ فَٱنظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَـٰٓأَبَتِ ٱفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّـٰبِرِينَ 

Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, "Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka bagaimanakah pendapatmu!" Dia (Ismail) menjawab, "Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insyā Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar."

Dalam Tafsir Al-Azhar, Hamka  mengatakan bahwa pada saat terjadinya peristiwa ini, usia Nabi Ibrahim sudah 90 tahun. Nabi Ibrahim merasakan kesedihan dan kebimbangan sebelum menyampaikan mimpi tersebut kepada anak yang sudah dinantikannya selama berpuluh tahun. Dengan kata halus ia pun berkata قَالَ يَـٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلْمَنَامِ أَنِّىٓ أَذْبَحُكَ فَٱنظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ("Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka bagaimanakah pendapatmu!").

Ismail sebagai anak yang telah mendengar bagaimana ayahnya diuji dengan api yang menyala serta cobaan-cobaan hidup lainnya yang telah dihadapi sang ayah, mengetahui bahwa mimpi tersebut bukanlah khayalan kacau, melainkan wahyu dari Allah. Dengan penuh keteguhan, ia pun mengatakan, "Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insyā Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar."

Jawaban ini sangat mengharukan. Doa Nabi Ibrahim yang memohon diberi keturunan saleh benar-benar terkabul. 

Atas kesabaran dan keridaan Nabi Ibrahim dan Ismail tersebut, Allah mengganti Ismail dengan seekor domba besar. Lalu, atas kepatuhan Nabi Ibrahim pada perintah Allah, beliau mendapat kemuliaan tertinggi di sisi Allah, dan mendapat gelar sebagai “Khalil Allah”—kekasih Allah—orang yang sangat dekat kepada Allah.

Ketiga, Al-Qur’an juga memotret kisah kurban Qabil dan Habil, yang tercantum pada Q.S Al-Maidah [5]: 27: 

وَٱتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ٱبْنَىْ ءَادَمَ بِٱلْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًۭا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ ٱلْـَٔاخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ ۖ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ ٱللَّهُ مِنَ ٱلْمُتَّقِينَ 

Dan ceritakanlah (Muhammad) yang sebenarnya kepada mereka tentang kisah kedua putra Adam, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka (kurban) salah seorang dari mereka berdua (Habil) diterima dan dari yang lain (Qabil) tidak diterima. Dia (Qabil) berkata, "Sungguh, aku pasti membunuhmu!" Dia (Habil) berkata, "Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang yang bertakwa."

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ ٱللَّهُ مِنَ ٱلْمُتَّقِينَ ( "Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang yang bertakwa."), Quraish Shihab dalam tafsirnya, Tafsir Al-Misbah, menyampaikan bahwa yang dimaksud diterimanya amal di sini adalah penerimaan yang sempurna. Bukan dalam arti Allah menolak jika yang mempersembahkan belum mencapai derajat tersebut. Para ulama secara sepakat menyatakan bahwa seorang Muslim, kendati belum mencapai derajat itu, insya Allah amal-amalnya akan diterima Allah swt. Atau, kata muttaqin dipahami dalam arti orang-orang yang secara ikhlas mempersembahkan kurbannya serta beramal karena Allah, atau Allah hanya menerima kurban dan amal orang-orang yang bertujuan dengan kurban atau amalnya itu untuk meraih derajat ketakwaan sempurna .

Keempat, Q.S Al-Hajj [22]: 37 menjelaskan esensi dari kurban.

لَن يَنَالَ ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلَـٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقْوَىٰ مِنكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ ۗ وَبَشِّرِ ٱلْمُحْسِنِينَ 

Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu. Demikianlah dia menundukkannya untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.

لَن يَنَالَ ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلَـٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقْوَىٰ مِنكُم (Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu), kurban bukanlah membakar daging kurban lalu asapnya naik ke langit, sebagai persangkaan orang-orang dahulu, tetapi dipotong dan dagingnya dibagikan kepada yang miskin. Dari kurban itu, yang sampai kepada Tuhan adalah ketika penyembelihan itu dilakukan benar-benar karena Allah .

Dari tinjauan ayat-ayat di atas, maka dapat dimaknai lebih dalam, bahwa ibadah kurban bukan hanya tentang menyembelih hewan, tetapi menyembelih ego, melatih diri dalam keikhlasan, dan menguatkan ketakwaan. Kurban menjadi ajang bagi seorang hamba untuk mengukur sejauh mana dirinya telah berserah kepada Allah, sebagaimana teladan yang diwariskan Nabi Ibrahim dan Ismail yang menjadi representasi dari cinta yang tulus kepada Pencipta. Lebih dari itu, di balik tetesan darah kurban, ada butir-butir syukur atas segala nikmat yang perlu dilangitkan, dan tentang keberanian melepaskan sesuatu yang dicintai—dalam konteks sekarang adalah harta—demi ketaatan kepada Allah.  


Penulis: Nur Aida Hasanah

Posting Komentar

Halo sobat Aksara!
Jika mari berkomentar dengan memberikan gagasan atau pendapat yang terbaik, kita jauhi komentar yang mengandung hal yang tidak diinginkan yaa!

Lebih baru Lebih lama