Wajah Kampus di Senja Hari (Sumber: Dokumentasi M. Mujiburrahman A) |
Pesantren Persatuan Islam (PPI) dan mahasiswa STAIPI Garut berkumpul dalam semangat kebersamaan, merajut tali silaturahmi, menerangi kampus dengan beragam prestasi, membawa semangat kebersamaan di antara beragam para santri PPI se-Kabupaten Garut dan mahasiswa STAIPI Garut. Seolah menyusup ke dalam melodi ulang tahunku beberapa waktu lalu yang masih terngiang. Sebuah tanda bahwa keindahan dan kekecewaan bisa bersatu dalam satu narasi bersama kampus bening yang tercinta, STAIPI Garut.
Selesai menjadi juri Lomba Karya Tulis Ilmiah tepat pukul 11.45 WIB, aku memutuskan untuk mengecek dan menilai karya peserta sambil menonton Lomba Tahfiz Al-Qur'an di salah satu ruang kelas. Lantunan ayat suci membentuk alunan yang menyapu telinga seantero kampus, menyisakan kesakralan yang seolah membalut jiwa. Kucek dan kunilai dengan rinci setiap karya ilmiah peserta sambil membiarkan diri terbawa oleh indahnya harmoni suara para peserta lomba tahfiz Al-Qur'an yang mengalun dari dalam ruang kelas.
Tidak terasa azan Zuhur berkumandang, lantas aku menyelesaikan aktivitasku, merapikan berkas-berkas lomba, dan memastikan sahabat laptop ASUS hitamku sedang beristirahat di dalam tas ranselku yang seolah membawa beban kenangan. Segera, tas ransel biru-hitam merek Consina yang menjadi penopang perjalanan harianku menyatu kembali dengan pundakku. Dalam upaya menyeimbangkan antara berkarya dan beribadah, aku bergegas menuju Masjid Baiturrahman STAIPI Garut untuk melaksanakan salat Zuhur berjamaah.
Langkah Menuju Masjid Baiturrahman Kampus Bening
Menuju masjid kampus bening, langkahku seperti tari dengan dentuman suara langkah sepatu loafers-ku yang menghujani lantai koridor kampus yang menyimpan cerita-cerita lembaran kehidupan mahasiswa, dan melewati koridor perpustakaan, tempat di mana gudang ilmu pengetahuan disimpan rapi dalam rak. Sambil memegang erat tas ranselku yang setia menggantung di pundakku, menjadi saksi bisu perjalanan cintaku pada kampus yang menjadi ladang ilmu, inspirasi, dan amal kebaikan.
Lelahnya beraktivitas membuat tubuhku harus membuang sisa cairan yang tak berguna. Sehingga langkahku membawaku ke dalam toilet masjid, tempat berbagai rahasia, inspirasi, dan cerita terungkap. Kelegaan dirasakan setelah aku mengeluarkan cairan tak berguna di tubuhku.
Aku keluar toilet dengan tas ransel masih menggantung di pundakku. Kulangkahkan kakiku ke tempat wudu, di sana air wudu menjadi pelukan segar yang menghapuskan lelah, menyirami kelelahan setelah menjadi bagian dari festival yang memukau, menyucikan diri dalam kesegaran air wudu sebelum memasuki masjid. Di balik air yang mengalir, aku membawa rasa syukur dan ketenangan, sebuah persinggahan sebelum melangkah lebih jauh dalam ritual penghambaan kepada Sang Pencipta.
Sampai di masjid, aku tertinggal dua rakaat dari imam, saat itu yang menjadi imamnya adalah Dr. H. Tiar Anwar Bachtiar, M. Hum. Langkahku menempatkanku pada shaf kedua terakhir. Ranselku yang setia menemani, kuhanyutkan dengan lemah lembut tepat di belakangku. Keindahan salat tampak ketika aku melihat para jemaah rukuk dan sujud mengikuti imam, menggambarkan puncak kedekatan kepada-Nya. Kemudian kuucapkan takbir pertanda bahwa tiada yang lebih besar termasuk alam semesta ini kecuali Allah SWT. Aku terbawa ke dalam khusyuknya salat seolah tidak ada apapun selain Tuhanku. Setelah imam selesai salam, aku harus menyelesaikan dua rakaat lagi.
Puncak Kehampaan dan Perginya Tas Ranselku
Setelah salam tiba, aku masih merasakan ketenangan dalam wiridku yang berbalut kelelahan setelah aktivitas keduniaan. Namun, takdir memainkan perannya, saat aku menengok ke belakang, kehampaan langsung memelukku, ternyata tas ranselku telah pergi. Dalam sekejap tas ranselku yang berisikan laptop ASUS hitam yang setia menemaniku dalam setiap perjuangan akademik, berkarya dan bekerja, lenyap tanpa bekas. Termasuk barang-barang pribadi dan berkas-berkas lomba ikut lenyap seketika. Masjid Baiturrahman, di mana sujud dan doa menciptakan kedamaian, tempat yang menjadi saksi bisu banyak doa, tiba-tiba kehilangan merayapi diriku. Kesucian tempat ibadah dihancurkan oleh tangan-tangan kotor penuh najis kezaliman yang tak tahu belas kasihan.
Tempat Kejadian Perkara, Tempat Tas Ransel yang Hilang (Sumber: Dokumentasi Pribadi) |
Saksi Bisu yang Bingung
Sekelompok anak mualimin PPI menjadi saksi bisu di belakangku, mencuri mataku setelah salat. Sontak beberapa pertanyaan penuh harap kulontarkan dan hasilnya tak ada jawaban. Mereka hanya ingat sosok bapak-bapak yang melewati, tapi detik itu tak tertangkap oleh pandangan mereka. Tatapan kebingungan mereka seperti lirik-lirik yang hilang dari sebuah syair. Mereka memberi petunjuk samar tentang sosok yang kemungkinan membawa tas biru, namun rincian kabur seiring langkah-langkah bergegas. Kehilangan itu menjadi puisi yang tak terucapkan, menyisakan rasa kehilangan yang sangat membuncah di hatiku.
Pertemuan dengan Tas Selempang Biru
Dalam pencarian jawaban, mataku tertuju pada sebuah tas selempang warna biru kecil yang serupa dengan warna tas ranselku. Kehadirannya di antara kerumunan, seolah-olah menarikku pada kisah yang tersembunyi di balik warna-warna yang terpampang. Lantas kuperiksa isinya, barangkali ada identitas pemiliknya yang bisa kuhubungi. Tak lama kemudian pemiliknya yang kukira muncul sebagai pahlawan sesaat, mengklarifikasi bahwa tas itu bukanlah milikku. Rasa lega seketika berganti dengan ketidakpastian yang semakin mengemuka dan membuncah di relung jiwaku.
Sekali Mendayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui
Pemilik tas selempang merinci tasnya dan ternyata HP VIVO miliknya juga raib digondol pencuri. Keanehan terletak pada fakta bahwa uang dan barang berharga lainnya di dalam tas selempang itu masih utuh, seolah tak tersentuh oleh tangan pencuri yang selektif. Sekali mencuri, tas ransel berisikan laptop dan HP terlampaui. Sungguh prestasi pencurian yang sangat membanggakan bagi kaum maling.
Kepedulian Teman-temanku yang Ikhlas Membantu
Aku mencari jejak tas ranselku di sekitaran masjid, mencoba meraba kehampaan di toilet kampus, tetapi tak ada tanda-tanda. Akhirnya Informasi kehilangan tersebar, di saat keputusasaan melanda, teman-temanku yang peduli segera menyatakan dukungan mereka. Dengan penuh keikhlasan, mereka membantu menyebarkan informasi kehilangan dan bahkan mengantarku ke rumah dekat gerbang kampus yang memiliki CCTV. Bersama-sama, kita menjalani pencarian, setiap langkah dilibatkan dengan harapan menemukan jejak tas ransel yang hilang. Termasuk ke selokan dekat kampus yang pernah menjadi saksi pembuangan tas dan dompet berisi laptop dari kasus pencurian sebelumnya
Kekecewaan terhadap CCTV dan Keamanan Kampus
Upaya melacak HP dan laptopku melalui Google dan Microsoft Find My Device berakhir sia-sia. Aku masih punya harapan melalui mesin yang menjadi mata pengawas di setiap sudut kampus dan masjid. Tetapi, dalam setiap dreap langkah, harapan itu hancur lebur, CCTV kampus yang tak berfungsi menjadi dinding yang memisahkan aku dengan fakta kebenaran. Kekecewaan terhadap kondisi keamanan kampus semakin nyata. Keamanan kampus yang kurang, terutama ketidakmampuan beberapa satpam untuk mengecek secara berkala identitas orang-orang yang datang, menghadirkan banyak ketidakpastian. Hari itu, ketika acara Festival Kampus yang dirayakan santri PPI dan mahasiswa, serta pembuatan paspor haji yang berlangsung, seharusnya menjadi momen bagi pihak keamanan untuk diawasi secara ketat.
CCTV Masjid yang Tampak Sudah Rusak (Sumber: Dokumentasi Pribadi) |
CCTV di Sudut Koridor yang Tidak Berfungsi (Sumber: Dokumentasi Pribadi) |
Barang Bukti
Dalam kebingungan yang melanda pikiranku, akhirnya aku menemukan barang bukti, tas ransel hitam yang terabaikan. Namun, isinya hanya sebongkah kertas koran, kain sarung, dan botol air mineral yang berisi cairan warna kuning tak jelas. Sebuah koreksi kejam terhadap kenyamanan yang pernah ada, menunjukkan betapa cepatnya pelaku mencuri dan meninggalkan kekosongan.
Kemudian diriku bertanya kepada penjual makanan di sekitar masjid, tetapi tak ada yang ingat sosok yang memakai tas itu sebelumnya.
"Mang punten, kantos ninggal jalmi anu nganggé kantong ieu? (sambil kuperlihatkan tas ransel hitam itu)," tanyaku ke beberapa pedagang.
"Mas, permisi, pernah lihat orang yang memakai tas ini? (sambil kuperlihatkan tas ransel hitam itu)," tanyaku ke beberapa pedagang.
"Teu kantos ninggal, A, da emangna gé teu rarat rérét, seeur jalmi nu ka dieu sareng riweuh ngaladangan nu mésér," jawab salah satu pedagang.
"Belum pernah lihat, Mas, soalnya saya juga tidak memperhatikan kanan kiri, banyak orang yang ke sini dan sibuk melayani pembeli," jawab salah satu pedagang.
Barang Bukti Tas Hitam yang Ditinggalkan di Masjid (Sumber: Dokumentasi Ridwan Abdallah) |
Upaya dan Kenangan Terakhir
Kehilangan tidak hanya diukur dengan barang-barang materi. Mencoba melacak HP dengan Google dan Microsoft Find My Device menghasilkan kegagalan. Akun Gmail milik pemilik HP yang dicuri lupa lagi dan akun Microsoftku telah di-logout-kan oleh sang maling, semakin melukai hati yang kini semakin rapuh.
Aku merasa sangat merasa kehilangan. Laptop hitam berstiker Gunung Guntur, teman setia dalam berkarya dan belajar, pergi meninggalkanku. Data pribadi dan proyek-proyek yang menuntunku ke arah masa depan, hilang dalam sekejap. Rasanya seperti kehilangan sebagian duniaku.
Surat Cinta untuk Sang Maling yang Tak Kukenal
Di balik suasana khusyuknya salat, engkau datang tanpa undangan, mengambil sesuatu yang bukan milikmu. Aku tahu, mungkin kau terpaksa melakukannya, memaksakan diri mencuri untuk mengisi perut anak dan istri di rumah. Di sinilah aku ingin mengajakmu untuk sekadar mendengarkan bisikan hati ini yang berbisik lembut.
Jika engkau merasa terjebak dalam keputusan sulit, mungkin saatnya untuk kembali ke rumahmu. Mereka yang menantimu di sana pasti lebih mengharapkan kehadiranmu daripada barang-barang yang engkau ambil. Pulanglah dengan tangan kosong, namun isi perut keluargamu dengan kehadiranmu yang penuh cinta.
Tas ransel itu, yang kau bawa pergi dengan tergesa-gesa, adalah lebih dari sekadar benda mati. Ia membawa kenangan dan cerita hidupku. Laptop di dalamnya, bukan hanya alat, melainkan teman setia dalam perjalanan panjang belajar dan berkarya. Barang-barang berharga yang engkau ambil, mungkin tak seberapa berarti bagi dunia, tapi bagi diriku, mereka adalah potongan hidup yang tak tergantikan.
Aku ingin memberimu maaf, mengikhlaskan kepergian barang-barang itu. Namun, ada satu permohonanku. Janganlah kau salahgunakan data-data yang ada di laptopku. Di dalamnya terkandung kenangan indah, cerita perjalanan hidup, dan proyek-proyek yang menjadi bagian dari perjuanganku. Aku tahu, engkau mungkin tak peduli dengan itu, tapi setidaknya biarlah kenangan itu tetap dihormati.
Jika engkau terpaksa melangkah ke jalur yang sulit, izinkan aku merangkulmu dengan untaian doa. Semoga langkahmu ini membawa keberkahan dan semoga keluargamu senantiasa dilindungi. Hidup ini memang penuh liku-liku, namun kita selalu punya kesempatan untuk berubah.
Jika engkau membaca surat ini, tolonglah menghapus data-data pribadiku yang ada di laptop. Tak ada kebencian di hatiku, hanya harapan agar engkau bisa menemukan jalan yang lebih baik. Setidaknya, izinkan kenangan-kenangan itu tetap suci tanpa disakiti, tak tergores oleh langkahmu yang terpaksa ini.
Semoga kehidupan membawamu kepada kebenaran dan cahaya, walau jalur yang kau pilih saat ini mungkin hitam kelam. Semoga Allah SWT. memberimu hidayah untuk kembali ke jalan yang benar. Terimalah doa dan maafku ini, duhai maling.
Pelajaran dalam Kepergian: Suatu Hikmah yang Membersamai Kehilangan
Dalam setiap kejadian hidup, terdapat pelajaran berharga yang mengalir seperti sungai tak pernah kering. Kehilangan tas ranselku, yang membawa segala kenangan dan barang berharga, memberiku satu pelajaran yang tak ternilai harganya.
Aku menyadari bahwa di dunia ini, tak ada yang benar-benar milikku selamanya. Barang-barang berharga yang kutaruh dalam tas ransel, laptop yang menjadi rekan setia, semuanya hanyalah titipan tak terbatas dari Sang Pencipta. Kehilangan ini mengajariku bahwa tali yang mengikatku pada dunia materi begitu rapuh, dan segala sesuatu yang tampak nyata dapat lenyap dalam sekejap.
Dalam kepahitan kehilangan, aku belajar untuk senantiasa rida dan ikhlas. Menerima kenyataan bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah bagian dari takdirku. Membiarkan tas ransel itu pergi bukan berarti aku menyerah, melainkan aku berusaha melepaskannya dengan tulus, menyadari bahwa kehilangan adalah bagian dari perjalanan hidup yang tak terelakkan.
Mungkin, di balik kejadian ini, Allah tengah memberiku pesan yang mendalam. Aku menyadari bahwa telah lama aku terlalu jauh dari-Nya. Kejadian ini bukan hukuman, melainkan teguran lembut dari Sang Maha Penyayang, yang merindukan kehadiranku yang kian menjauh.
Allah menunjukkan sayang-Nya dengan memberiku ujian ini. Melalui setiap ujian, Dia mengajarkan kesabaran dan keikhlasan. Dalam kesabaran, aku menemukan kekuatan untuk melangkah lebih jauh. Dalam keikhlasan, aku menemukan ketenangan hati meski segalanya tampak hilang.
Ternyata, dalam kesulitan yang melandaku ini, Allah menyiapkan ladang pahala untukku. Dia mengajarkan aku untuk bersabar dalam ujian, dan aku percaya bahwa bersama setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Bahkan Allah SWT. sendiri menjamin bersama satu kesulitan pasti ada dua kemudahan (Q.s. Asy-Syarh: 6-7). Menurut tafsir Ibnu Katsir, Anas bin Malik pernah menceritakan bahwa Nabi SAW. duduk dan di hadapannya terdapat sebuah batu, maka beliau SAW. bersabda: "Seandainya kesulitan datang, lalu masuk ke dalam batu ini, niscaya kemudahan akan datang dan masuk ke dalamnya, lalu mengusirnya. Dan Allah SWT. menurunkan firman-Nya: "Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan," (Q.s. Asy-Syarh: 5-6). Mungkin, di tempat yang tak terduga, Allah sedang menyusun kemudahan juga hadiah terindah yang tak pernah kupikirkan sebelumnya.
Kehilangan ini, sekali lagi, mengingatkanku bahwa sesungguhnya Allah lebih tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Dalam setiap langkah yang kuhadapi, aku akan melibatkan-Nya lebih dekat. Mungkin, kehilangan ini adalah jalan Allah untuk mempererat tali kebersamaan antara hamba dan Sang Khalik. Aku belajar bahwa terkadang, kehilangan adalah pintu menuju keberkahan yang tak terduga. Kehilangan adalah pintu untuk memperbaiki dan mengevaluasi yang ada.
Beberapa Kasus Pencurian di Kampus
Kasus pencurian di kampus bukanlah kisah baru. Proyektor infocus, tas mahasiswa berisi dompet, laptop, dan barang berharga raib saat salat Jumat. Parahnya, pelaku dengan mudah membuang tas dan dompet kosong di selokan dekat kampus, meninggalkan rasa ketidakamanan yang merayap. Ketika langkah-langkah berat menuju kampus, kecewa bukan lagi milik pribadi, melainkan milik kampus tercinta. Proyektor infocus di kampus, juga raib digondol pencuri. CCTV yang mati suri menjadi saksi bisu kondisi keamanan yang terlupakan. Pencurian yang terus terjadi, seperti mantra yang menghantui kampus bening ini, meruntuhkan pondasi kepercayaan dan keamanan yang dulu tegak nan kokoh.
Pihak sarana dan prasarana kampus memberikan keterangan mengenai rusaknya CCTV. Menurutnya, ada pihak yang memutus kabel tanpa izin terlebih dahulu, ketika ada pembangunan gedung yang baru.
"Waktu itu. ada pihak yang memutus kabel CCTV tanpa sepengetahuan kami ketika adanya pembangunan, sehingga CCTV rusak karena kalau sudah rusak kabel induknya maka akan rusak semuanya," ucap H. Deni, pengelola sarana dan prasarana kampus.
Sebuah Panggilan untuk Perbaikan dan Perubahan
Kejadian-kejadian itu seperti goresan di kanvas lukisan indah kampus ini. Namun, bukanlah keluhan yang ingin kuungkapkan di sini, melainkan cinta yang mendalam, kepedulian yang terpancar dan besar harapan agar kampus tercinta memperbaiki diri.
CCTV yang mati tak kunjung diperbaiki, sistem keamanan yang rapuh, menjadi sorotan dari luka yang kian dalam. Bukannya hanya melibatkan barang-barang, tetapi juga kemanan hati dan semangat mahasiswa. Kritik ini bukan bentuk penghakiman, melainkan panggilan cinta, dari suara hati yang ingin kampus tetap menjadi pelukan yang aman, tempat berkarya, berdiskusi, dan berinovasi bagi civitas akademika.
Cinta sejati bukanlah hanya tentang berharap untuk diperhatikan, tapi juga berani menyuarakan kebenaran, bahkan ketika kebenaran itu mengecewakan. Semoga kampus bening yang tercinta, dapat tumbuh dan menjadi lebih baik dari kejadian ini. Kiranya, setiap goresan kuas kritikan pada canvas lukisan kampus ini akan membangkitkan semangat untuk bersama-sama merajut kisah yang indah dengan segala perjalan ceritanya.
Oh, kampus bening, kami mencintaimu! Dengan segala keunikan dan keindahanmu. Meskipun melodi kehilangan ini terdengar menyedihkan, marilah kita bersama-sama merangkainya dengan nada-nada perubahan yang indah.
Sebuah Kritik yang Membangun dan Refleksi yang Mendalam untuk Kampus Bening Tercinta
Sejuknya kampus bening tercinta tersimpan langit-langit harapan perbaikan dan sodoran kritis. Kami dari mahasiswa yang mencintai kampus bening ini menyusun sebuah wacana penuh makna yang membongkar realitas kampus berdasarkan fakta dan data yang kami terima. Setiap sudut kampus adalah panggung di mana lanskap sarana-prasarana, literasi, dan budaya akademik menari dalam ketidaksempurnaan mereka selama ini.
Kritik yang ingin kami sampaikan adalah sebuah cerminan penuh kerendahan hati, mencerminkan keinginan untuk membangun dan mengangkat kampus tercinta ke tingkat yang lebih tinggi. Dalam narasi ini, kami akan mengarungi kompleksitas realitas kampus dengan bahasa yang jujur dan mendalam, mengundang para pemangku kepentingan seperti petinggi kampus untuk memahami, merenung, dan bersama-sama mencari solusi.
Dalam perjalanannya kami melintasi beragam aspek kampus, mari kita renungkan setiap catatan, keluh kesah, dan pelajaran yang tertulis di dinding-dinding beton alam pikiran. Melalui kritik yang dibangun dengan penuh kepedulian di hati ini, kami berharap untuk membuka diskusi yang melampaui sebatas rintihan, menuju pemahaman yang lebih utuh dan perubahan yang lebih baik.
Bagian Kesatu: Sarana dan Prasarana Kampus Bening
Dalam bingkai kehidupan akademis, kita menemui sebuah tarian senyap yang dimainkan oleh sarana dan prasarana kampus, yang menjadi panggung berbagai tantangan. Mari merunut setiap catatan, seperti lembaran puisi yang melibatkan hati dan pikiran kita. Berikut beberapa hal yang menjadi buah kepedulian kami sebagai mahasiswa.
1. CCTV yang Bisu & Mata Pihak Keamanan yang Tertutup
Dalam bayang-bayang keamanan, CCTV kampus menjadi saksi bisu keberadaan tanpa kebermaknaan. Seolah-olah mata yang tertutup, alat ini menambahkan dimensi kegelapan pada kanvas kehidupan kampus. Kita membutuhkan pandangan yang tajam, mata yang bersinar untuk menjaga keamanan dan ketertiban.
Ketidakberfungsian CCTV di kampus STAIPI Garut telah menjadi pukulan telak dalam menjaga keamanan. Kejadian hilangnya barang berharga tidak hanya menimpa diriku, melainkan juga merupakan bagian dari kronik kejadian serupa di kampus ini. Ketidakmampuan teknologi pengawasan membawa risiko yang tak terhitung jumlahnya, menciptakan atmosfer ketidakamanan di antara para mahasiswa dan staf kampus.
Robi Setiawan, mahasiswa Prodi Ekonomi Syariah semester 7, melukiskan kepedihan yang merayap dalam keheningan kampus. Dengan nada argumentasinya, ia mengungkapkan betapa minimnya sentuhan pelindung yang membuat kampus menjadi panggung aksi pencurian yang terus menghantui para mahasiswa.
"Saya sebagai mahasiswa di kampus ini mengatakan minimnya pengamanan membuat daerah kampus itu sering terjadi aksi pencurian. Setahu saya beberapa bulan kebelakang, ada yang pernah kemalingan seperti laptop milik mahasiswa dan infocus milik kampus, ini harusnya menjadi peringatan bagi pihak lembaga untuk memperketat dalam bidang keamanan di kampus," ucap Robi.
Lebih dalam lagi, ia melanjutkan kisah kelamnya. Ia menjelaskan bahwa hanya beberapa hari yang lalu, laptop mahasiswa Prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir serta HP milik alumni STAIPI Garut tersedot dalam aliran pencurian yang tak kenal waktu, bahkan ketika waktu salat. Keamanan, seakan menari-nari di ujung pena, memberikan pernyataan yang penuh ketidakpastian karena merasa menjadi korban juga dari maling yang luput dari perhatianya, terasa begitu minim sekali kasih sayang keamanan di kampus ini.
"Dua hari kebelakang terjadi lagi kasus seperti serupa, seorang mahasiswa ilmu Al-Qur'an kehilangan laptopnya saat dia sedang salat di masjid kampus, padahal tasnya juga berada di dalam masjid tepat di belakangnya. Dan seorang alumni STAIPI juga sama kehilangan satu buah HP, sama kejadiannya ketika salat dan tasnya tepat di belakangnya, dengan waktu yang sama dua barang hilang, laptop dan HP," ungkap Ketua Umum HMI Komisariat STAIPI Garut itu.
Mengungkap rasa sesalnya, Ketua Umum HMI Komisariat STAIPI Garut itu menghiasi kata-kata dengan serpihan hati. Menurut tuturnya, kampus ini seperti sebuah panggung sunyi tanpa rekaman kamera atau CCTV yang membeku di tiap sudutnya.
Maka, dalam gemuruh kasus pencurian yang kian marak,
"Seharusnya para pejabat kampus seperti SEMA (Senat Mahasiswa) bagian Aspirasi dan Advokasi harus peka terhadap kejadian seperti ini, meminta kepada pihak lembaga untuk pemasangan CCTV di tiap-tiap bangunan demi keamanan dan kenyamanan bagi mahasiswa dan dosen," ujarnya.
Robi Setiawan, Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat STAIPI Garut (Sumber: Dokumentasi Robi Setiawan) |
Dengan kepeduliannya yang tinggi, Robi menutup pengungkapannya. Menurutnya, selain kehadiran CCTV, hanya ada beberapa penjaga yang berdiri sebagai penjaga malam yang sunyi, seperti purnama yang bersinar lembut dalam kegelapan. Namun, kejelian dalam melihat, seperti bintang yang malu-malu menyembunyikan cahayanya. Pihak keamanan harus belajar untuk mengulurkan tangan dalam cahaya dan memastikan tidak ada bayangan yang terlewatkan. Hanya dengan demikian, kampus ini dapat kembali menjadi panggung yang dijaga ketat, tempat di mana cerita-cerita indah tak tergerus oleh kegelapan yang merayap.
"Selain perangkat CCTV, hanya ada beberapa petugas keamanan yang bertugas untuk memantau keamanan di area kampus. Seharusnya juga, petugas keamanan harus jeli dalam bertugas agar tidak ada kejadian yang tidak diinginkan." pungkas Robi.
Lebih lanjut sang Presiden Mahasiswa, Hali Kadhan Famulaqieh, mencurahkan rasa prihatinnya terhadap tragedi pencurian yang menyisakan luka di hati para mahasiswa. Dengan nada sedih, ia berkata, "Yang Kemarin kehilangan laptop ataupun beberapa bulan ke belakang walaupun sarana prasana yang ada di kampuspun hilang, karena tingkat keamanan seperti dari CCTV yang ada di beberapa sudut hanya sebagai pajangan, bukan sebagai pengawas."
Dengan bijak, Hali Kadhan Famulaqieh menyadari bahwa tragedi ini menjadi panggilan keras untuk memperketat bentuk pengawasan. Menurutnya Ini menjadi suatu tamparan, bukan hanya bagi individu yang kehilangan barang berharga, melainkan juga lembaga untuk merenung dan memperbaiki pengembangan sarana dan prasarana. Kampus adalah rumah kita, dan rumah harus menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk setiap insan mahasiswa.
"Oleh karena itu, bentuk pengawasannya harus ketat, ini jadi suatu tamparan bagi lembaga untuk pengembangan sarana dan prasarana," ujar Hali.
Hali Kadhan Famulaqieh, Presiden Mahasiswa/Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) STAIPI Garut (Sumber: Instagram @demastaipigarut) |
Menyentuh hati, ketika ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) ini menegaskan langkah konkret yang akan diambil untuk merespon situasi tersebut. Pihaknya akan menghanyutkan beberapa aspirasi yang telah dirangkum dari hasil angket, seperti peningkatan sarana dan prasarana, standarisasi almamater, perbaikan fasilitas toilet, dan intensifikasi sosialisasi kemahasiswaan. Semua itu akan mereka sampaikan dalam rapat pimpinan terlebih dahulu, sebagai langkah awal dalam menanggapi masalah yang mendera hati kampus ini.
"Follow up-nya kami akan melayangkan beberapa aspirasi dari hasil angket seperti sarana dan prasarana, standarisasi almet, toilet, dan sosialisasi kemahasiswaan yang nantinya akan dibahas di rapim terlebih dahulu terkait masalah itu," pungkas mahasiswa Prodi PAI semester 7 itu.
2. Fasilitas Diskusi yang Hampa: Ruang untuk Menyuarakan Kebenaran
Dalam alam pemikiran, minimnya fasilitas tempat diskusi bagi mahasiswa menjadi luka penuh kehampaan pada ruang kreativitas. Seperti tanah yang kering menanti hujan, mahasiswa membutuhkan oasis tempat ide dan gagasan dapat berkembang, bertukar, dan bersuara. Fasilitas yang lebih memadai adalah jalan menuju keberagaman intelektual.
3. Toilet yang Tak Sebanding: Kebersihan yang Kian Terperangkap
Kami butuh toilet yang memadai, nyaman, dan bersih. Kami sering ditanyai oleh tamu luar kampus mengenai lokasi toilet, terkadang karena diselimuti kebingungan, mulut kami terpaksa menunjukkan mereka ke arah toilet yang tidak ada pembatas untuk laki-laki dan perempuan.
Salah Satu Toilet Kampus STAIPI Garut (Sumber: Dokumentasi Pribadi) |
4. Parkir yang Kacau: Tata Letak yang Menyesatkan
Wajah Kampus dengan Kekacauan Parkir Kendaraanya (Sumber: Dokumentasi Pribadi) |
5. Penebangan Pohon di Kampus Bening (Bersih dan Hening) yang Tak Kunjung ada Penanaman Pohon Baru
Penebangan pohon di kampus bening (bersih dan hening) tanpa penanaman kembali adalah melodi yang putus. Seakan-akan kita melupakan bahwa setiap pohon adalah sebuah cerita, dan penebangan adalah penghentian cerita itu. Penanaman kembali pohon adalah menyelamatkan keberlanjutan cerita kehidupan. Kampus yang hijau adalah cerita yang asri.
Jangan sampai kampus menjadi bening (bersih dan hening) dengan debu yang berterbangan menjadi angin topan kecil. Kami terbiasa diterjang oleh tiupan angin topan kecil yang membawa debu-debu kekeringan dan kegersangan kampus. Rasa panas dan gerah sudah kami rasakan semenjak pohon rindang itu pergi.
Kampus adalah rumah kedua bagi kami, dan rumah yang nyaman menciptakan jiwa yang nyaman. Kita perlu membangun suasana yang memberi nafas dan mendorong perkembangan, bukan sebaliknya.
6. Kelas yang Terbatas: Terpaksa Kuliah di Luar Kelas
Keterbatasan kelas untuk perkuliahan adalah seperti batas yang menjebak intelektualitas. Seperti kandang yang terlalu kecil bagi kuda bebas, kami perlu ruang untuk berkembang. Kelas yang memadai adalah panggung untuk pembelajaran yang tak terbatas. Panggung dialektika pemikiran dari para mahasiswa yang idealis dan peduli akan kampus.
Sudah bosan dari semester satu semenjak kami melamar kampus tercinta ini untuk menjadi mahasiswa, kuliah daring dilaksanakan tanpa adanya inovasi dan perbaikan dalam penyajian kuliah daring. Realitas majelis daring yang ada tidak jauh dari off cam para mahasiswa bahkan tak jarang dosen juga ketika melakukan presentasi.
Kami ingin segera ada suasana majelis ilmu yang nyata tanpa ada kedustaan yang menyelimuti kuliah daring. Seperti presentasi daring berjalan di samping mahasiswa atau dosen off cam tanpa tahu apakah mereka memperhatikan perkuliahan atau mencari kesenangan yang lain. Entah itu rebahan, berjualan, maupun jajan.
7. Kantin yang Kurang Menyehatkan: Rasa Enak di Lidah yang Diutamakan
Fasilitas kantin, sebuah lorong cita rasa yang seharusnya menggoda selera, kini menjadi bayangan yang menyedihkan. Seakan-akan keberagaman rasa hanya sebuah dongeng yang terlupakan, menu jajanan yang kurang sehat adalah puisi yang terpinggirkan.
Dalam senyapnya deretan menu, kita menyadari bahwa kesehatan mulai terpinggirkan. rasa-rasa yang seharusnya melambung tinggi kini tenggelam dalam minyak goreng dan gula yang berlebihan. Gorengan, kopi, susu, rokok, dan mie instan yang dikonsumsi mahasiswa sudah menjadi atmosfer yang menyelimuti kampus tercinta ini.
Kita bukan hanya merasakan, tapi juga menyentuh ketidaksempurnaan ini. Kantin adalah refleksi dari apa yang kita pilih untuk makan, dan pilihan itu menciptakan kesehatan kita. Menu yang seadanya adalah lagu yang terputus, membutuhkan harmoni baru untuk menyentuh hati dan lidah kita dengan kelezatan dan kebaikan yang seimbang. Sebuah permintaan untuk menciptakan jajaran menu yang menyentuh jiwa dan tubuh, karena kantin bukan hanya tempat kita makan, tapi juga cermin dari perhatian dan kepedulian terhadap kesejahteraan mahasiswa.
Kantin yang sehat, yang bisa menyajikan menu-menu untuk bisa menutrisi kebutuhan tubuh mahasiswa yang sudah habis diperas untuk berpikir dan bertindak kami butuhkan sekarang. Kami tidak ingin mendengar lagi ada mahasiswa yang mengidap usus buntu, di mana setiap pagi menghisap rokok, sarapan kopi dan mie instan sampai membuatnya pindah alam dari dunia selama-lamanya. Memang itu sudah menjadi pilihan pribadinya, namun alangkah baiknya kampus membuat peraturan dan menyediakan kantin yang sehat dan mudah diakses tanpa harus jajan keluar menghabiskan tenaga, waktu, uang, dan bensin.
Bagian Kedua: Budaya Literasi Kampus
Sebuah Refleksi Terhadap Problematika dan Suara Hati Sang Kepala Perpustakaan
Dalam perbendaharaan ilmu pengetahuan, terdapat rasa yang mendalam meminta perhatian, terasa dalam gemuruh problematika yang merayap seperti bayangan gelap di malam hari. Mari kita gali bersama setiap catatan pahit dalam cerita literasi kampus, seiring angin berbisik di rak-rak buku yang tampaknya merindukan sentuhan ilmu yang terabaikan.
Berikut merupakan hasil gabungan penelitian yang dilakukan oleh Litbang AKSARA dan kelompok mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Arab (PBA) STAPI Garut yang dibimbing langsung oleh Laode Ahmat Sabil, M. Si., mengenai Peranan Perpustakaan Kampus dalam Meningkatkan Literasi Mahasiswa STAIPI Garut. Penelitian tersebut dilaksanakan dari tanggal 6-9 November 2023 dengan mengambil sampel sebanyak 40 mahasiswa dari semua Prodi STAIPI Garut.
Minat Baca Mahasiswa dan Jumlah Pengunjung ke Perpustakaan yang Masih Kurang
Dalam membahas literasi kampus, perlu dicatat bahwa minat baca mahasiswa di kampus STAIPI Garut masih kurang. Hal ini terlihat dari jumlah pengunjung yang minim di perpustakaan kampus. Minat baca yang rendah dapat menjadi indikator kurangnya kesadaran akan pentingnya literasi di kalangan mahasiswa.
Pengunjung yang minim di perpustakaan juga dapat mencerminkan kurangnya ruang diskusi mahasiswa. Perpustakaan seharusnya menjadi pusat kegiatan intelektual. Namun, keterbatasan ruang diskusi dapat membatasi potensi pertukaran ide dan pemikiran di antara mahasiswa. Peningkatan fasilitas dan ruang terbuka di perpustakaan dapat memicu interaksi yang lebih aktif.
Grafik Jumlah Pengunjung Perpustakaan Selama 2023 (Sumber: Litbang Aksara) |
Rata-Rata Kunjungan Mahasiswa ke Perpustakaan (Sumber: Kelompok Mahasiswa Prodi PBA) |
Menelusuri Alasan Terhimpit dari Kepala Perpustakaan
Dalam senja yang memeluk dinding perpustakaan, Kepala Perpustakaan STAIPI Garut Ahmad Wasman, S. Sos., seorang pelaut yang setia mengarungi lautan ilmu, membuka lembaran cerita keheningan yang melingkupi ruang literasi kampus. Sinar lampu redup menggambarkan perjuangannya menyusuri penyebab kurangnya anggota perpustakaan, seolah melalui gulungan arus gelombang mahasiswa.
Ahmad menyampaikan bahwa arus gelombang mahasiswa yang meminjam buku seringkali terasa paling deras saat tahun ajaran baru. Para mahasiswa baru, segar dalam semangat belajar, dan mahasiswa tingkat akhir, yang merangkai detik-detik terakhir skripsi, menjadi pusat dari arus ini. Namun, di balik pemandangan yang terlihat begitu hidup, tersimpan lirih alasan yang menghimpit potensi gemuruh literasi.
"Alasan informasi terkait administrasi perpustakaan yang kurang," kata Ahmad, merinci simpul-simpul dari masalah yang menghantui. Ada rasa kurangnya pengetahuan mahasiswa mengenai administrasi perpustakaan, menyebabkan beberapa dari mereka terjerat dalam ketidakpahaman. Mungkin, di antara derap gelombang buku, suara informasi tentang keberadaan literasi terabaikan, seakan melukiskan keheningan yang memerangkap.
Namun, tak hanya itu.Dirinya melanjutkan dengan satu kata yang mencuat dalam senyap,
"Ada juga yang malu mengunjungi perpustakaan padahal sudah bayar," ujar alumni Jurusan Perpustakaan Universitas Padjajaran (Unpad) itu.
Tragedi Anggota Perpustakaan yang Menurun Drastis
Grafik Jumlah Anggota Perpustakaan (Sumber: Litbang Aksara) |
Sarana yang Retak, Pengembangan Literasi yang Pudar
Diagram Lingkaran Pembentukan Budaya Literasi Mahasiswa (Sumber: Kelompok Mahasiswa Prodi PBA) |
Diagram Lingkaran Pengaruh Perpustakaan STAIPI Garut terhadap Budaya Literasi Mahasiswa (Sumber: Kelompok Mahasiswa Prodi PBA) |
Dalam ruang perpustakaan yang senyap, Ahmad, penjaga harta ilmu kampus, membuka pintu rahasia yang menggambarkan keheningan dan harapannya terhadap pengembangan literasi. Dengan kata-kata yang merangkai keluh kesah dan tulus harap, dia melukiskan mengapa pengembangan literasi dan keberadaan buku di perpustakaan seperti gemuruh yang jauh dari pelukan hangat.
Wajah Dalam Perpustakaan STAIPI Garut (Sumber: Kader AKSARA) |
"Mandegnya biaya administrasi perpustakaan dari mahasiswa," ucap Ahmad Wasman.
Hal ini menandai salah satu akar keheningan yang terdengar di sudut-sudut perpustakaan. Bagai embun yang tak kunjung turun, biaya administrasi yang terhenti memisahkan perpustakaan dari sumber airnya. Mahasiswa yang seharusnya menjadi pendorong, terhambat dalam langkahnya menuju pintu pengetahuan, karena arus dana yang terputus.
"Biasanya pihak perpus mengambil 20% dari biaya administrasi perpustakaan mahasiswa untuk pembuatan kartu anggota dan perawatan perpus, jika ada sisa biasanya beli buku yang murah," tambah Ahmad.
Namun, kebisuan ini tidak berdiri sendiri. Ahmad mengungkapkan bahwa harmoni yang seharusnya mengalun di antara Tata Usaha (TU), Perpustakaan, dan para petinggi kampus, kini lebih terdengar sebagai dengung yang hilang dalam angin. Kurangnya koordinasi dan komunikasi menjadi dinding yang merintangi laju perpustakaan menuju dermaga literasi yang jauh.
"Sebelumnya tahun 2021 dari pihak Prodi PAI memberi Rp 4.950.000,- untuk pengadaan buku," teringat Pak Ahmad, menciptakan sedikit cahaya dalam keheningan. Di tengah arus kekeringan dana, bantuan dari Himpunan Mahasiswa Prodi menjadi pelita kecil yang menyoroti kegelapan. Ada yang memberikan buku, ada yang memberikan uang untuk pengadaan buku dan perawatan perpustakaan. Sebuah sinar harapan dari para mahasiswa yang masih memegang teguh nilai literasi.
"Terkahir, HMPS PAI dan Ekosy ngasih buku, disusul oleh pihak Prodi BKPI ngasih Rp 2.150.000,- untuk pengadaan buku,' sambung Pak Ahmad, merinci setiap sumbangsih yang mengalir ke perpustakaan. Di dalam lembayung literasi yang tak sepenuhnya padam, terbersit rasa syukur dan pengharapan.
"Baru-baru ini Pak Ketua memberikan hadiah karpet masjid untuk perpus, karena prihatin melihat kondisi perpus yang kurang nyaman untuk lesehan," ucapnya.
Ahmad Wasman, S. Sos., Kepala Perpustakaan STAIPI Garut (Sumber: Kader AKSARA) |
Dalam tulisannya, Ahmad membawa kita ke panggung di mana literasi menjadi tontonan utama. Terhenti bukan berarti tak ada langkah, dan keheningan bukanlah akhir dari cerita. Di antara buku-buku yang rapuh, terdapat desiran napas literasi yang masih hidup, menunggu untuk dihembuskan kembali.
Melodi Kerja Sama yang Terhenti: Duet Antara TU dan Perpustakaan
Di dalam ruang hening pengetahuan, harmoni antara Tata Usaha (TU) dan Perpustakaan dijelaskan oleh suara penuh kerinduan dari Staf TU, Dedi Iskandar, S.Pd.I.,dalam getarannya, terungkap kisah struktural yang memisahkan. Namun, mengandalkan kerja sama dalam melodi literasi kampus.
"TU hanya pelaksana teknis, jadi ketika ada kebijakan yang harus dikerjakan, itu berdasarkan pimpinan dan hasil musyawarah, tidak ada hak untuk mengatur perpustakaan," ucap Dedi, menguraikan batas peran yang memisahkan. Struktur hierarki yang berbeda, seolah menjadi partitur yang harus diikuti, menetapkan peran masing-masing di panggung administrasi kampus.
Namun, kejelasan peran tidak selalu menghasilkan harmoni yang indah. Dedi menambahkan bahwa tiap awal tahun ajaran, ada pelaporan terkait administrasi mahasiswa, termasuk perpustakaan. Namun, suara itu terdengar seolah terjauh di keheningan, terputus dalam tempo yang lama. Ahmad Wasman, penjaga perpustakaan, membutuhkan laporan setiap bulan untuk memenuhi desakan pengembangan dan perawatan perpustakaan.
"Walaupun berbeda struktur namun akan tetap ujung-ujungnya harus koordinasi lagi dengan TU terkait pelaporan administrasi mahasiswa," pungkas Ahmad, seperti sebuah senandung pilu dalam melodi administrasi yang terputus. Kerja sama yang seharusnya menjadi nada utama, terhenti dalam kebingungan dan ketidakjelasan.
Struktur Organisasi STAIPI Garut (Sumber:Dokumentasi Sri Rayahu) |
Dalam cerita ini, tergambar rasa kerinduan untuk menyusun kembali melodi kerjasama. Meskipun struktur berbeda, namun perlu dipahami bahwa setiap irama dari TU dan Perpustakaan seharusnya saling melengkapi, membentuk simfoni literasi yang mewarnai perjalanan ilmu di kampus. Hanya dengan bersinergi, melodi literasi dapat terdengar jelas di antara lembaran-lembaran buku yang menanti.
Jarangnya Mahasiswa yang Membawa Buku dan Berdiskusi
Literasi juga dapat diukur dari aktivitas mahasiswa sehari-hari. Jarangnya mahasiswa yang membawa buku atau terlibat dalam diskusi di luar kelas dapat menunjukkan rendahnya budaya literasi di kalangan mahasiswa. Inisiatif untuk mendorong diskusi kelompok dan pertukaran buku dapat menjadi langkah kecil namun signifikan dalam membangun budaya literasi.
Keheningan juga merayap dalam minimnya partisipasi mahasiswa dalam kegiatan diskusi. Jarang terlihat mahasiswa membawa buku referensi atau bacaan. Diskusi yang diadakan oleh ormawa, baik internal maupun eksternal, seolah menjadi layar hitam yang memperkuat bayang-bayang heningnya perpustakaan.
Suara Kerinduan Pada Lembaran Literasi: Memaknai Keheningan di Perpustakaan
Di antara sederet buku yang berjajar, Ahmad Wasman mengukir seiris kenangan dan kerinduan. Dengan hati yang terbuka, dia melanjutkan kisah literasi kampus yang tenggelam dalam keheningan.
"Sudah beberapa bulan tidak ada lagi rapat koordinasi terkait perpustakaan, termasuk informasi pelunasan biaya perpustakaan dari pihak Tata Usaha (TU), mungkin sudah berbeda lagi kebijakannya," tutur Kepala Perpustakaan STAIPI Garut itu.
Suara yang seperti berbisik di dalam ruang baca yang sepi. Dalam nada getir, Pak Ahmad menggambarkan kekosongan rapat yang seharusnya menjadi harmoni keuangan perpustakaan.
Ketidakhadiran rapat koordinasi membawa dampak tak terduga. Tidak hanya dana yang terhenti, tapi juga kehilangan jejak pelunasan biaya perpustakaan. Sungguh, ini bukan sekadar hilangnya catatan, melainkan pemutusan tali literasi yang seharusnya terjalin erat.
"Jadi dari yang lunas atau belum lunas juga tidak ada laporan dari TU di samping mahasiswa wajib membuat kartu anggota kalau ingin meminjam buku di Perpustakaan," Pak Ahmad, seakan menyajikan sajian getir yang meresap ke dalam hati pembaca. Hening yang tak terucapkan dalam laporan, mengekang kemungkinan mahasiswa untuk menikmati harta ilmu.
Melalui ungkapan ini, Ahmad Wasman mengingatkan bahwa literasi bukan hanya tentang kata-kata di atas kertas, melainkan juga serangkaian proses di balik layar. Terdapat keperitan dalam ketidakjelasan, seakan mengajak kita untuk merenung sejenak dalam cekungan literasi yang terabaikan.
Sebuah Upaya Peningkatan Literasi dari UKM Pers dan Literasi Mahasiswa AKSARA
Dalam menghadapi tantangan ini, kampus perlu melakukan upaya konkret untuk meningkatkan literasi di antara mahasiswa dan dosen. Program-program literasi, pelatihan, serta peningkatan akses terhadap sumber-sumber literasi dapat menjadi langkah-langkah strategis. Dengan demikian, kampus dapat menjadi lingkungan yang mendukung perkembangan literasi dan pemahaman di berbagai bidang.
Di antara heningnya lembaran buku dan kekayaan kata, tumbuh suara yang melodi. UKM Pers dan Literasi Mahasiswa AKSARA, seperti pahlawan dalam dunia literasi, menciptakan sinar harapan dengan program "Riungan Literasi (RILITE)." Bekerja sama dengan Perpustakaan, diharapkan program ini menyambungkan kembali harapan para mahasiswa untuk mendapatkan akses buku yang terpisah oleh kendala administrasi. Program ini juga merupakan follow up dari hasil penelitianyang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa Prodi PBA. Sebuah langkah berani yang menjadi pelita literasi, menerangi jalan mahasiswa menuju dunia ilmu yang penuh warna.
Flyer Riungan Literasi (RILITE) AKSARA (Sumber: AKSARA) |
RILITE bukan hanya sebuah program, melainkan upaya perbaikan dan bagian dari simfoni yang menciptakan ruang tempat minat baca berkembang. Dengan mading yang berisi buku-buku pilihan hasil kurasi, mahasiswa diundang untuk menjelajahi hikmah dan khazanah ilmu pengetahuan yang tersaji. Setiap tulisan di mading adalah jendela ke dunia baru, membuka pintu literasi yang mungkin belum pernah terbuka sebelumnya.
Program Literasi Aksara (RILITE) (Sumber: Media Aksara) |
Tidak hanya itu, hasil karya tulisan dari AKSARA turut menghiasi ruang literasi ini. Setiap kata yang tertulis adalah serpihan pemikiran yang ingin disampaikan, menjadi petunjuk menuju pemahaman yang lebih dalam. RILITE bukan sekadar ruangan membaca, melainkan panggung di mana setiap karya berbicara, dan setiap halaman buku menjadi teman perjalanan.
Mading Kampus Tempat RILITE AKSARA Diadakan (Sumber: Kader AKSARA) |
Hasilnya, terpancarlah semangat dari setiap mata yang memandang. Mahasiswa, dengan penuh antusias, memenuhi ruang Riungan Literasi. Mereka membawa pulang bukan hanya buku-buku yang dipegang, tetapi juga benih minat baca yang tumbuh di hati mereka. Sebuah sinar kecil yang jika dibawa pulang, bisa menjadi cahaya dalam kegelapan ketidakpedulian literasi.
Tampak Beberapa Mahasiswa Membaca Buku di Tempat RILITE AKSARA (Sumber:Kader AKSARA) |
Meskipun belum menjangkau seluruh mahasiswa, program ini memiliki arti yang mendalam. RILITE menjadi jejak pertama dalam membentuk budaya literasi di kampus. Sebuah usaha gemilang yang seharusnya dihargai dan diperluas. Program semacam ini membutuhkan dukungan penuh dari pihak kampus, bukan hanya dari AKSARA, melainkan dari seluruh ormawa baik internal maupun eksternal yang mendukung perbendaharaan kata dan gagasan.
Dalam hening literasi, RILITE adalah melodi yang perlu terus berkumandang. Melalui langkah-langkah kecil ini, literasi akan menjadi lautan yang tak terbatas di mana setiap mahasiswa adalah pelaut yang berlayar mencari hikmah. Mari bersama-sama memupuk kegemaran akan kata-kata, melalui program-program yang menjelma menjadi bunga indah di kebun ilmu pengetahuan.
Kesimpulan: Memeta Literasi di Kampus Bening Sebagai Panggilan untuk Perubahan
Dalam rangka memetakan peta literasi di kampus, terungkaplah gambaran yang memerlukan perhatian serius. Sejumlah kritik budaya literasi melibatkan perpustakaan, administrasi, hingga program-program literasi, menciptakan narasi yang mengajak untuk merefleksikan dan meresapi setiap helaian kritik yang dihimpun.
1. Perpustakaan sebagai Sumber Pengetahuan
Kondisi perpustakaan yang merosot dalam jumlah anggota dan kunjungan menggambarkan keperluan mendesak akan pembenahan. Kekeringan dana, ketidakjelasan administrasi, dan minimnya koordinasi antara perpustakaan, TU, dan pihak kampus menjadi tantangan yang perlu segera diatasi oleh kampus.
2. Kesadaran Mahasiswa terhadap Administrasi Perpustakaan
Tidak hanya keterbatasan dana, kesadaran mahasiswa terhadap pentingnya administrasi perpustakaan turut menjadi fokus kritik. Informasi yang kurang transparan dan minimnya sosialisasi tentang kebijakan administrasi menyebabkan penurunan jumlah anggota perpustakaan.
3. Program Literasi
Program-program literasi, seperti RILITE AKSARA, menawarkan cahaya dalam kritik yang lebih luas. Meskipun belum mencapai seluruh mahasiswa, inisiatif semacam ini memberikan dorongan positif dalam meningkatkan budaya literasi. Diperlukan dukungan lebih lanjut dari pihak kampus dan ormawa lainnya untuk memperluas cakupan dan dampaknya.
4. Kerjasama antara Perpustakaan, TU, dan Para Petinggi Kampus
Keterbatasan koordinasi antara perpustakaan, TU, dan para petinggi kampus menciptakan kebuntuan dalam pelaporan dan administrasi. Diperlukan dialog yang lebih intensif dan harmonis antara kedua belah pihak untuk memastikan administrasi berjalan lancar dan transparan.
Dari serangkaian kritik ini, tergambar sebuah panggilan untuk perubahan. Dibutuhkan upaya bersama, kolaborasi antarunit, dan peningkatan kesadaran akan pentingnya literasi di kampus. Budaya literasi bukan hanya tanggung jawab perpustakaan atau pihak literasi, melainkan adalah misi bersama untuk membawa gemerlap ilmu ke setiap sudut kampus.
Kritik terhadap literasi kampus ini mencerminkan perlunya perubahan paradigma dan upaya kolektif untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya literasi di kalangan mahasiswa dan dosen. Dengan merespons kritik ini, diharapkan kampus dapat menjadi wadah yang mendorong mahasiswa dan dosen untuk terus mengembangkan kemampuan literasi dan berkontribusi pada peningkatan kualitas pendidikan dan penelitian di STAIPI Garut.
Bagian Ketiga: Budaya Akademik Kampus Bening
Sebuah Refleksi dan Drama yang Merayap dalam Panggung Akademik Kampus Bening
Berikut beberapa bukti cinta dan kepedulian dari beberapa mahasiswa kampus bening ini untuk perbaikan kampus dengan harapan semua pihak terlibat dalam mewujudkan kampus yang mempunyai visi "Terwujudnya STAI Persis Garut sebagai Kampus Unggulan dalam Bidang Keilmuan Turats Islam dan Menjadi Pusat Pengembangan Dakwah di Indonesia pada 2035 dan tataran Global pada 2050."
Teater Literasi yang Tersendat
Panggung akademik dipenuhi oleh ironi ketika presentasi mahasiswa masih dihiasi oleh bacaan teks makalah. Ketidakmampuan para mahasiswa dalam berliterasi, khususnya dalam menyampaikan materi dengan persiapan yang matang, menjadi sebuah ironi tragis yang merayap di setiap sudut ruang kuliah.
Kisah Kuliah Daring yang Membosankan
Kisah majelis ilmiah yang dulu penuh gairah dalam kuliah luring, kini melupakan keasliannya dalam kisah kuliah daring yang membosankan. Atmosfer majelis ilmiah hilang dalam hantaman jarak maya, di mana nuansa transfer ilmu, diskusi studi kasus, dan kehangatan dari setiap mata kuliah menjadi hilang. Hilangnya wajah para mahasiswa ketika majelis daring dilaksanakan karena off camera semakin membuat kegelisahan yang nyata, entah itu mereka sedang rebahan, jualan, atau jajan. Salah satu dosen Prodi IAT mengungkapkan pernah terjadi ketika kulaih daring, ada mahasiswa yang off camera tiba-tiba kameranya terbuka dan si mahasiswa sedang enjoy melayani pembeli di lapak jualannya. Dari kejadian tersebut sang dosen melarang kuliah daring bagi mahasiswanya dan memilih kuliah secara tatap muka.
Epilog Keterbatasan Jurnal dan Penelitian
Di kampus yang indah ini, akses terhadap jurnal dan penelitian menjadi sebuah kisah pahit. Minimnya jurnal atau penelitian yang dihasilkan oleh dosen, bersama dengan sulitnya mendapatkan referensi dari jurnal kampus, menciptakan dramatisasi tak terduga. Mahasiswa terdorong membuat makalah seadanya atau mengkopas dari sumber luar.
Mencari Harmonisasi Beasiswa dan Budaya "Ordal" yang Kuat.
Kritik melangkah kepada fenomena pemberian beasiswa yang tidak merata dan terkait dengan kekuatan "ordal" menciptakan keraguan akan keadilan. Mahasiswa dengan potensi akademik tinggi tetapi terkendala oleh biaya dan kurangnya relasi "ordal" menghadapi tantangan besar dalam meniti pendidikan tinggi di kampus bening ini.
Tatkala semesta akademik bergelora dengan getaran perjuangan mahasiswa, melibatkan diri dalam arena beasiswa terasa sebagai tarian cahaya yang berputar-putar dalam kegelapan keuangan. Fenomena ini menjadi pemandangan umum di kampus, di mana beasiswa seperti Beasiswa Kemenag, Sakan, Pemprov Jabar JFLS, dan deretan beasiswa lainnya menjadi pundi kebahagiaan yang dirasakan sebagian yang punya "power", sementara bagi yang lain, beasiswa tetap menjadi mimpi yang kabur.
Tetapi di dalam naungan beasiswa ini, lahirlah bayangan "Ordal," kekuatan tak kasat mata yang memberikan akses dan peluang lebih besar kepada mereka yang terhubung erat. Mahasiswa dengan beasiswa serupa, bahkan tahun demi tahun, mencuatkan perasaan tanda tanya bagi banyak orang. Apakah ini semata karena kepiawaian akademik mereka, atau karena "power" relasi yang merajut kisah sukses mereka?
Dalam lorong kampus, terdengar bisikan mahasiswa yang merintih keluh kesah karena terhimpit oleh beban biaya. Mereka yang memiliki bakat dan potensi akademik yang melimpah, tetapi terhenti langkahnya karena tak mampu membuka pintu beasiswa. Sebaliknya, orang lain, yang mungkin hanya sekadar beruntung memiliki simpul-simpul hubungan tertentu, meraih peluang demi peluang.
"Teman sekelas saya sudah beberapa kali mendaptkan beasiswa JFLS dari tahun ke tahun karena dia punya "power" dari relasi ordal yang kuat, kemudian ada juga teman saya yang lain mendapatkan beasiswa dari Kemenag hanya karena ada tali persaudaraan dengan pihak dosen di sini," ujar salah satu mahasiswa karyawan Prodi IAT.
Kisah serupa pun melingkari sosok lain yang, berkat ikatan persaudaraan dengan dosen, meraih beasiswa dari Kemenag. Relasi, seakan menjadi mata kunci pintu masuk dunia beasiswa, memberikan hak istimewa pada mereka yang terpilih.
Namun, janganlah duga kebenaran tanpa pertimbangan lebih dalam. Bukan suatu keputusan bahwa si pemilik relasi otomatis berhasil merampas hak dari yang lain. Kampus menjadi panggung pertunjukan di mana cerita ini dibacakan. Namun, peran aktif semua pihak, baik mahasiswa maupun pihak kampus, diperlukan untuk menjadikan cerita ini bukan sekadar drama biasa, melainkan panggung adil yang menata takdir beasiswa tanpa menutup pintu bagi siapa pun.
Tragedi Penurunan Jumlah Mahasiswa
Panggung akademik menjadi semakin gelap dengan tragedi penurunan jumlah mahasiswa. Hanya ada kurang lebih 197 orang dari 435 orang awal. Cerita keterbatasan beasiswa, terutama Beasiswa KIP Kemenag yang terhambat oleh pembatasan kuota, menambahkan nuansa kelam di panggung kampus ini. Prinsip "ta'awun" harus terus dilakukan dengan catatan para mahasiswa yang ditolong harus sadar diri untuk memberikan kontribusi yang nyata untuk kampus. Gunakan prinsip tersebut dengan penuh keprofesioanalan tanpa adanya ketidakadilan oleh kampus. Di sisi lain para pelamar melihat jejak karir yang ditinggalkan oleh para alumni, apakah sukses sesuai bidangnya maupun di luar bidangnya ataukah sebaliknya? Sebuah pertanyaan yang realistis. Selain itu hilangnya Prodi Pendidikan Bahasa Arab (PBA) dalam kontestasi penerimaan mahasiswa baru semakin membuat keheningan di kampus bening ini.
Grafik Jumlah Mahasiswa STAIPI Garut dalam Tiga Angkatan Selama Tiga Tahun Terakhir (Sumber: Litbang AKSARA) |
Pihak staf TU, Dedi Iskandar menjelaskan mengenai tragedi ini, dirinya menjelaskan bahwa kuota mahasiswa perguruan tinggi negeri meningkat, termasuk kuota beasiswa KIP-nya juga meningkat, di samping kuota beasiswa di kampus sangat terbatas.
Lebih lanjut dirinya menjelaskan mengenai tren penurunan jumlah mahasiswa yang sama dialami oleh beberapa kampus tetangga, seperti UNIGA dan STAIDA Garut.
"Tahun sekarang memang kurang, sebenarnya dilihat dari lulusannya jadi apa, bisa jadi seperti karena faktor ekonomi, telat promosi kampus, kuota beasiswa KIP Kemenag yang dibatasi sehingga banyak pendaftar yang mengundurkan diri di samping kuota kursi mahasiswa dan beasiswa KIP perguruan tinggi negeri bertambah," ucap Dedi.
"Memang tahun ini mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya namun secara kuota memang cukup memenuhi untuk setingkat kampus yang berada di daerah Garut, untungnya STAIPI Garut masih bisa mendapatkan mahsiswa baru karena punya keterikatan kejam'iyahan dengan basis Pesantren Persatuan Islam (PPI) se-Kabupaten Garut.Di kampus lain juga mengalami penurunan, seperti UNIGA dan STAIDA Garut," pungkas Dedi.
Drama SK Prodi PBA: Kritik dan Panggilan untuk Transparansi
Dalam dramatisasi penuh ironi ini, kisah SK Prodi PBA di STAIPI Garut terbukti sebagai sebuah lakon yang terlalu panjang tanpa akhir yang pasti. Meskipun Ketua STAIPI Garut berjanji bahwa masalah ini akan selesai pada akhir tahun, namun realitasnya seperti awan gelap yang menutupi langit kampus.
Sebagai mahasiswa dan pengamat setia, kita harus menggulirkan tirai dari dramatisasi ini dan menyoroti beberapa titik kritis:
1. Mahar sebagai Duri dalam Rintangan
Drama ini mengisyaratkan bahwa mahar atau biaya merupakan hambatan utama dalam mendapatkan SK Prodi PBA. Menurut keterangan dari salah satu dosen Prodi IAT yang pernah mengurus SK untuk Prodi IAT, jumlah mahar yang harus dipersiapkan adalah puluhan sampai ratusan juta. Pertanyaan muncul adalah sungguhkah keuangan kampus terbuka dan terurai seperti kain yang merentang di mata angin? Sejauh mana transparansi dalam pengelolaan keuangan kampus? Adakah banyak mahasiswa yang belum melunasi biaya administrasi, apakah mahasiswa masih terlilit oleh bayang-bayang ketidakjelasan dan ketidakpastian dana? atau sudah ada dana yang terhimpun, namun belum digunakan secara tepat?
2. Ketidakpastian Teknis dan Administratif
Kisah ini bermula dari konflik teknis dan administratif yang merayap ke seluruh sudut panggung. Mengapa tak ada sistem yang mampu menangkap perubahan dan mengatasi hambatan administratif? Adakah pembaruan yang bisa menuntun perjalanan yang lebih lancar dan efisien?
3. Elegi Pindah Jurusan dan Kuota Prodi PBA yang Hampa
Dalam serangkaian tragedi, mahasiswa Prodi PBA terpaksa berpaling arah, meninggalkan jejak harapan dan cerita di kampus. Mengapa tidak diberikan kuota untuk PBA pada Penerimaan Mahasiswa Baru 2023? Adakah pertimbangan mendalam ataukah ini hanya gurat kesedihan tanpa makna? Dampak dramatisasi ini tidak hanya terasa di lapisan administratif, tetapi juga pada mahasiswa. Teman-teman dari Prodi PBA yang memutuskan pindah jurusan adalah pukulan berat bagi keberlanjutan dan keberagaman kampus.
Kesimpulan: Sebuah Sodoran Solusi untuk Membangun Kembali Panggung Akademik yang Berkilau di Kampus Bening
Panggung akademik di STAIPI Garut dapat kembali bersinar jika langkah-langkah solutif diambil untuk mengatasi kritik yang telah diungkapkan. Berikut adalah beberapa solusi untuk membangun panggung akademik yang harmonis:
1. Hidupkan CCTV yang Bisu dan Keamanan yang Ditingkatkan Disertai Partisipasi Mahasiswa
Dalam kelamnya malam, mata-mata bisu CCTV tergantung di setiap sudut kampus. Namun, tak ada sinar yang mengubah kebisuan itu. Untuk mengubah keheningan itu, kita perlu membuka diri pada teknologi terkini, menggantikan mata bisu itu dengan pandangan canggih yang dapat memeluk seluruh detil. Memperketat keamanan dengan standar prosedur yang jelas. Mari berikan peran pada mahasiswa sebagai penjaga malam yang dengan tekun memantau layar, membuka jendela hati dan menciptakan ruang keamanan bersama.
2. Ciptakan Ruang Diskusi yang Inspiratif dan Inisiatif untuk Kelompok Mahasiswa
Dalam kehampaan ruang diskusi, kata-kata terluka seolah terperangkap. Tetapi kita dapat membuka pintu kreativitas dan kebenaran dengan merancang kembali ruang tersebut menjadi panggung ide dan aspirasi. Angkat tirai panggung, mari berkreasi dan membiarkan ruang itu penuh suara kebenaran. Mahasiswa, marilah kita bergabung dalam kelompok diskusi, menyulut kreativitas dan meniupkan semangat ke dalam tiap kata yang kita ucapkan.
3. Kebersihan Toilet Sebagai Tanggung Jawab Bersama
Dalam sunyi toilet yang tak sebanding, kebersihan terperangkap dalam kegelapan. Mari kita buka tirai kebersihan, melibatkan hati dan tangan bersama-sama menjaga. Program kebersihan bersama adalah sekuntum bunga yang akan mekar di toilet kampus. Dengan bersama-sama menjaga, kita bukan hanya meresapi kebersihan fisik, tetapi juga menciptakan kebersihan hati yang mendalam.
4. Tata Letak Parkir yang Terorganisir dan Efisien
Dalam kebingungan parkir yang melilit, kendaraan menjadi buta arah. Mari kita ubah jalan kebingungan menjadi tata letak yang terorganisir. Kita bisa merancang peta tata letak yang indah, di mana setiap lajur adalah kisah perjalanan. Aplikasi pintar akan menjadi panduan yang membimbing langkah, memberikan petunjuk di setiap simpang, dan menjadikan parkir sebagai taman berbunga-bunga.
5. Komitmen Bersama untuk Reboisasi
Dalam sepi dedaunan dan bisikan angin yang terhenti, pohon-pohon telah pergi. Namun, kita bisa menciptakan keajaiban bersama. Komitmen kita adalah benih yang akan tumbuh menjadi hutan. Mari kita tanamkan harapan di setiap tanah yang gersang dan berikan sentuhan cinta pada setiap pohon yang tumbuh. Kita bisa menjadi penjaga hutan kampus yang berbicara dengan dedaunan dan menari bersama angin.
6. Peningkatan Fasilitas Akademik
Dalam keterbatasan ruang kelas, ilmu menyatu dalam keheningan. Mari kita buka pintu untuk merangkul ilmu. Pembangunan ruang kelas baru adalah panggung bagi pengetahuan untuk melompat dan berkembang. Jendela ilmu terbuka lebar, dan kita bisa melihat dunia dari sana. Mari kita nikmati setiap helaan napas ilmu di setiap sudut ruang kelas yang baru.
7. Menu Kantin Sehat dan Edukasi Gizi
Dalam kelezatan yang merayu lidah, kesehatan meratap. Mari kita buka buku menu kantin, menggantikan kata "lezat" dengan "sehat". Kita bisa menciptakan menu yang menjadi harmoni cita rasa dan gizi. Kampanye edukasi gizi adalah kuncinya. Mari kita ajarkan mahasiswa bahwa memilih makanan yang baik adalah langkah awal menuju kelezatan sejati, yang menyentuh tak hanya lidah tetapi juga hati.
Dengan hati yang bersemangat dan tangan yang bersatu, mari kita menciptakan kampus yang bukan hanya megah dalam struktur betonnya tetapi juga dalam nilai-nilai, kebersamaan, dan kepedulian kita.
8. Revolusi Literasi
Menyusun program pelatihan literasi untuk mahasiswa guna meningkatkan kemampuan menyampaikan materi tanpa terpaku pada teks makalah. Menyediakan sarana diskusi dan pelatihan public speaking dapat membawa nuansa keaslian kembali ke panggung. Tak kalah pentingnya adalah mendukung dan mengakomodasi setiap ada gerakan literasi yang diadakan oleh ormawa internal dan eksternal kampus.
9. Reivitalisasi Kuliah Daring
Merevitalisasi metode pengajaran daring dengan merancang strategi interaktif. Mengintegrasikan teknologi yang lebih canggih, serta mendorong partisipasi mahasiswa melalui platform daring seperti G.Meet yang lebih dinamis dan interaktif.
10. Perpustakaan Digital dan Akses Jurnal
Membangun perpustakaan digital yang kaya akan referensi dan memberikan akses mudah ke jurnal-jurnal kampus. Memotivasi dosen untuk lebih aktif dalam penelitian dan publikasi guna meningkatkan sumber referensi yang dapat diakses oleh mahasiswa.
11. Revitalisasi Penerimaan Mahasiswa
Merinci program beasiswa dan memperluas kuota untuk meningkatkan daya tarik kampus. Memperkenalkan program promosi yang kuat, mengadakan seminar, dan meningkatkan komunikasi dengan calon mahasiswa. Pihak TU dapat mengkaji ulang kebijakan pembatasan kuota dan berkoordinasi dengan pihak berwenang untuk memfasilitasi lebih banyak beasiswa.
12. Transparansi dalam Pengelolaan Beasiswa
Meningkatkan transparansi dalam pengelolaan beasiswa untuk menghindari ketidakadilan dan diskriminasi. Menerapkan sistem yang adil dan objektif dalam pemberian beasiswa, tanpa dipengaruhi oleh faktor personal atau relasi "ordal" yang tersistem, di samping banyaknya talenta mahsiswa yang harus diberi kesempatan untuk mendapatkan beasiswa, karena mereka syarat akan potensi akademik dan non akademik yang tinggi.
13. Seleksi Adil tanpa Terkait "Ordal"
Merancang sistem seleksi beasiswa yang adil dan merdeka. Pemilihan penerima beasiswa harus didasarkan pada potensi, dedikasi, dan pencapaian akademik, bukan hubungan personal.
14. Pengelolaan Beasiswa secara Profesional
Menetapkan tim pengelola beasiswa yang independen dan profesional. Mereka menjadi penjaga keadilan, memastikan setiap mahasiswa yang berhak mendapatkannya tidak terpinggirkan.
15. Peningkatan Akses Informasi Beasiswa
Membangun sistem informasi online yang memudahkan mahasiswa mengakses informasi beasiswa. Portal ini tidak hanya memberikan pencerahan mengenai beasiswa, tetapi juga mengajak mahasiswa untuk lebih memahami dan merayakan pencapaian ilmu pengetahuan.
16. Pendekatan Meritokrasi
17. Transparansi Keuangan
Pihak kampus perlu membuka lembaran keuangan agar mahasiswa dapat melihat sejauh mana dana yang terhimpun dan bagaimana pengelolaannya. Transparansi ini dapat menghilangkan keraguan dan meningkatkan kepercayaan mahasiswa.
18. Peningkatan Sistem Administrasi
Perbarui dan tingkatkan sistem administrasi kampus agar lebih adaptif terhadap perubahan dan tantangan. Peningkatan keterampilan teknis dan pengetahuan administratif di kalangan staf kampus juga merupakan langkah yang sangat diperlukan.
Melalui melodi baru ini, harapannya adalah beasiswa di kampus bening akan menjadi suplemen dan katalis ilmu pengetahuan yang merata, tak lagi dikuasai oleh sentuhan "ordal" yang meruncingkan nada keadilan. Hanya dengan demikian, setiap mahasiswa dapat memetik buah peluang pendidikan tanpa harus terjebak dalam rasa ketidakadilan dan kecenderungan yang memihak. Semoga, beasiswa menjadi cermin kebijakan yang adil dan tulus, mewarnai kanvas peradaban ilmu pengetahuan di kampus bening tercinta.
Melalui sodoran solusi-solusi ini, diharapkan panggung akademik di STAIPI Garut dapat kembali meriah dan menjadi inspirasi bagi para mahasiswa. Harmoni antara fasilitas, literasi, teknologi, akses ilmiah, dan keadilan akan membawa sinar yang terang pada setiap lembaran cerita di kampus bening tercinta.
Sebuah Penutup: Panggilan Perbaikan dan Perubahan untuk Kampus Bening yang Tercinta
Dalam serangkaian peristiwa, dari hilangnya tas ransel berisi laptop dan barang berharga yang membawa kehilangan lebih dari sekadar barang-barang fisik hingga kritik menyentuh mengenai budaya literasi dan akademik kampus, telah membawa kita pada panggung refleksi bersama. Kita menjadi saksi akan tragedi pencurian, kesulitan mahasiswa dalam mengejar ilmu, hingga kompleksitas administratif yang meruncing pada legalitas sebuah program studi.
Hilangnya tas ransel, dengan seluruh kenangan dan kisah di dalamnya, menjadi simbol kehilangan lebih besar: hilangnya rasa aman, kehilangan ketertiban, dan kehilangan kepercayaan. Dalam kritik budaya literasi, kita menyaksikan mahasiswa yang haus akan pengetahuan, tetapi kekurangan sumber daya dan dorongan untuk menggali lebih dalam. Sedangkan dalam kritik budaya akademik, atmosfer perkuliahan yang hambar dan beasiswa yang tak merata membawa kita pada keraguan akan mutu pendidikan.
Namun, dalam setiap kritik, terdapat pelajaran. Pelajaran bahwa perbaikan memerlukan peran aktif setiap elemen kampus. Tas ransel yang hilang dan penurunan minat mahasiswa adalah cermin dari kebutuhan akan pengamanan dan pembenahan visi pendidikan. Kritik terhadap literasi mengajarkan kita bahwa membaca bukan hanya kewajiban, melainkan jendela menuju dunia ilmu. Sedangkan kritik budaya akademik menjadi tanda bahwa kampus harus lebih daripada sekadar tempat transaksi ilmu, tetapi juga panggung keadilan dan kesetaraan.
Oleh karena itu, mari kita bersatu untuk menciptakan kampus yang bukan hanya bening secara fisik, tetapi juga bening dalam misi dan visinya. Biarkan setiap perbaikan menjadi tanda kepedulian, setiap kritik menjadi panggilan untuk berubah. Bersama-sama, kita dapat mengangkat kampus ini ke tingkat yang lebih baik, tempat di mana ilmu dan kebijakan bersatu, di mana literasi dan akademik menjadi pondasi kuat bagi masa depan yang gemilang.
"Di setiap detik, kritik adalah pelukan lembut yang membangunkan kampus dari tidur panjangnya. Bersama, mari kita membawa aroma kebahagiaan dan harmoni di setiap bait kisah pendidikan kita,"
"Seperti halaman kosong yang menanti coretan, begitu juga kampus kita yang menanti perubahan. Dengan pena kebijakan dan kepedulian, mari kita tulis kisah perbaikan, membangun jembatan harapan di antara semua yang mencintai kampus ini."
Salam Hangat,
Z M R