Sang Guru

Oleh: Iman N

Hujan turun lebih awal, ba'da jumat di pertengahan Januari 2019 M. "Lumayan deras memang, semoga tak lama", bisikku dalam hati.

"Tuan, di sini hujan deras", ku kirimkan pesan singkat pada Tuan Andanu.


Dia hanya menjawab, "Dinantikan" dengan emot bunga dan dua tangan yang saling menggenggam.

Hujan pun mulai reda, pertanda bahwa aku harus pergi menemuinya di kota santri. Tak sendiri, ditemani kawan sejawat yang sudah menanti di kota pensiun. Awal malam kita berangkat ditemani dengan rintik air dari langit yang cukup membuat pakaian basah dan udara dingin yang menusuk tulang.

Kami tiba sekitar pukul delapan malam, di Pesantren Persis di kota santri hendak bersua dengan Tuan Andanu. Seperti yang kuduga, beliau berada di Saung Pergerakan seperti yang sudah kita janjikan sebelumnya.

"Assalamu 'alaikmu"

"Wa'alaikum salam, mari duduk"

Beliau menyambut kami dengan hangat dan ramah.

"Mau kopi apa?" tanya beliau pada kami.

"Kopi god day sama kopi hitam saja Tuan", jawabku.

"Oh iya.. Sebentar yah"

Pertama kali kami menginjakan kaki di Saung Pergerakan, cukup nyaman untuk mendiskusikan sebuah gagasan.

Tak terasa malam sudah mulai larut, udara dingin mulai menyapa. Pelbagai petuah pun larut beriringan dengan kesunyian malam. Kita berdiskusi terkait sebuah pergerakan.

"Apa yang Tuan rasa hilang dari diri Tuan?" tanya beliau pada kami. Ku jawab, "Kesadaran", sementara kawanku menjawab, "Rasa malu".

"Ada yang sudah hilang dari setiap benak umat Islam hari ini. Sesuatu yang hilang itu adalah keikhlasan". Tutur Tuan Andanu di sela-sela bincang hangat kami.

Malam benar-benar sudah sangat larut, tak terasa memang. Saking asyiknya kami berbincang, hingga waktu terasa begitu cepat berlalu. Kami berpindah dari Saung Pergerakan menuju kantor sekolah.

"Mari ke kantor, d sini dingin" kata Tuan Andanu.

"Mari Tuan".

Dia ambil sebuah gitar, hingga kita habiskan malam dengan cerita-ceita jenaka sesaat beliau masih muda dahulu. Hhe lucu memang, penuh inspirasi bagi si Tuan Muda ini.

Subuh menjelang, aku langkahkan kaki menuju masjid di pinggir jalan itu. Santrinya cukup banyak juga.

Ketika Mentari mulai menyengat, kami menuju kediaman Tuan Andanu. Beliau menamakan Sanggar Pembebasan. Kata yang pertama kami baca di papan,

"Tuan telah sampai dengan waras, tetaplah waras"

Seketika pesimisme berubah jadi optimisme.

Terimakasih atas ilmunya Tuan Andanu, dari Tuan Muda ini.

1 Komentar

Halo sobat Aksara!
Jika mari berkomentar dengan memberikan gagasan atau pendapat yang terbaik, kita jauhi komentar yang mengandung hal yang tidak diinginkan yaa!

Lebih baru Lebih lama