Hilangnya Budaya Literasi Mahasiswa STAIPI

Oleh : Abu Nahl
Mahasiswa merupakan lumbung pengetahuan yang dimiliki bangsa sebagai aset terbesar untuk menjadikannya penerus bangsa yang mapan, berdikari dan berpengetahuan.
Dirasa atau tidak dirasa bahwasanya mahasiswa itu merupakan makhluk yang dikutuk masyarakat sebagai manusia yang mempunyai intelektualitas. Intelektualitas mahasiswa dipandang lebih dari hanya sekedar pengetahuan biasa, dikarenakan mereka telah dididik pada strata tertinggi didalam sistem pendidikan formal yang terdapat di dunia. Oleh karenanya mahasiswa dikutuk sebagai makhluk yang berintelektualitas dikalangan masyarakatnya itu sendiri.
Tentunya intelektualitas dari seorang mahasiswa tak dapat dilepaskan dari kebiasaan dan budaya mereka berliterasi, yang didalamnya terpaut budaya baca dan tulis yang selalu intens digaungkan oleh setiap mahasiswa yang bergelut didalam ruangan pendidikan. Kemana pun mahasiswa pergi, bersama siapa pun mereka bergaul, itu semua akan memengaruhi kepribadian mereka. Pantasnya seorang mahasiswa menyukai, mencintai dan selalu mengunjungi perpustakaan-perpustakaan yang terdapat di kampusnya. Juga sepantasnya mahasiswa menyenangi berkumpul dan bertukar pikiran dalam ruang diskusi yang dengannya akan menjadikan terasahnya budaya berpikir dan berdialektika yang sistematis sehingga pada nantinya akan tercipta budaya berpikir yang logis.
Antara fakta atau hanya sekedar opini, bahwasanya dalam konteks sekarang mahasiswa mulai tidak menyukai apa yang sering disebut dengan literasi. Literasi merupakan sebuah nafas bagi diri mahasiswa yang akan menunjukan jati dirinya sebagai orang yang mempunyai intelektualitas yang lebih tinggi. Apapun yang saya rasakan di kampus tempat saya menuai dan menuntut ilmu di STAIPI Garut, merupakan gejala yang nampak dari mahsiswa bahwasanya para mahasiswa sekarang sudah menjadi antipati terhadap apa yang dinamakan dengan budaya baca dan tulis. Di mana kebanykan dari mereka berkuliah hanya untuk memantaskan identitas mereka agar merekat disebut sebagai mahasiswa, namun aplikasinya sungguh miris, jati diri mahasiswa yang semestinya tertanam dengan kental dalam diri mahasiswa tersebut seolah perlahan hilang dan musnah.
Setidaknya ada tiga sebab yang menjadikan mahasiswa STAIPI seolah anti terhadap budaya literasi, mulai dari sebab yang paling mendasar sampai yang amat berpengaruh. Pertama, adalah ketika mahasiswa itu mulai menjauhi apa yang dinamakan sebagai gudangnya ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu perpustakaan. Dapat kita lihat bahwa setiap harinya orang yang memasuki perpustakaan hanyalah beberapa persen saja dari sekian banyak mahasiswa yang terdaptar sebagai mahasiswa aktif di kampus ini. Hanyalah satu atau dua persen saja orang yang suka berkunjung dan membaca di perpustakaan, dan berliterasi di dalamnya. Tentu saja ini merupakan angka yang sangat miris untuk kita perdengarkan ke dunia luar, dikarenakan apa yang menjadi gudangnya ilmu pengetahuan sudah mulai bergeser haluan dan tak memiliki peran dalam sebuah perubahan peradaban. Ditambah lagi menurut data terbaru yang berhasil saya dapati, budaya baca tulis yang ada di Indonesia ini menempati urutan ke enam puluh dari enam puluh satu negara yang diteliti. Ini merupakan persentase yang sangat mencengangkan untuk dapat kita dengar dan kita pikirkan.
Kedua, yang menyebabkan minimnya budaya literasi terbentuk di kalangan mahasiswa di kampus STAIPI ini, adalah dengan mudahnya dan terbengkalainya oleh teknologi infornasi yang telah menyebar luas, sehingga mereka meninggalkan buku sebagai sarana utama dalam mendapatkan ilmu yang menjadi pedoman. Yang menjadi permasalahanya adalah tidak dijadikannya sarana informasi digital sebagai sarana yang menjadi tunjangan bagi mahasiswa untuk berliterasi. Yang ada hanyalah mahasiswa disibukan dengan memainkan game online yang terdapat di hp dan lebih intens didalam meninjau apa yang terjadi di dalam media sosial dan lebih aktif di dalamnya. Sehingga, mahasiwa terbengkalai dari buku dan perpustakaan yang bahkan terdapat di kampus mereka sendiri. Mereka membiarkan perpustakaan itu kosong, dan hanya diisi oleh penjaga perpustakaan saja. Dimanakah jiwa Agen of Change itu, jikalau sumber dari perubahan dirinya pun sudah di tinggalkan begitu saja, dan tak dijadikannya sebagai rujukan didalam menuju perubahan tersebut, dimanakah Agen of Change?.
Ketiga, yang menjadikan budaya literasi di kampus ini minim adalah, kebiasaan mereka membaca atau bahkan meneliti terhadap suatu hal  hanya ketika dosen pengampu memberikan sebuah tugas bagi mahasiswa itu sendiri. Jikalau tugas itu beres dan selesai, maka selesai pulalah mereka didalam membaca dan meneliti terhadap sesuatu. Bahkan, keadaan yang terjadi di lapangan, terkhusus di kampus ini, eksistensi mahasiswa hanya pada tugas-tugas dari dosen yang menumpuk, yang apabila telah selesai  tugas mereka dari dosen tersebut, maka selesai pulalah mereka dari membaca. Tak adanya rangsangan dalam diri mahasiswa untuk membaca dan meneliti, menyebabkannya sulit untuk mengubah pola hidup dan pola pkirnya. Dimanakah Agen of Change itu? Jikalau apa yang dicari hanyalah untuk kebagusan nilai dan IPK yang terdapat didalam secarik kertas, namun tak ada ilmu yang meresap dan membangkitkan suatu pergerakan, dikarenakan sumber dari sebuah pergerakan itu pun mereka batasi dan bahkan mereka hindari yaitu informasi, buku dan budaya literasi yang terdapat di kampus.
Oleh karna apa yang kita rasa sebagai mahsiswa tak lagi sama seperti mahasiswa tempo dulu yang selalu mengedepankan moralitas, integritas, intelektualitas dan budaya kritis yang tinggi, maka apa yang diperbuat oleh mahasiswa yang ada di zaman ini jangan sampai mencoreng dan mencederai apa yang telah menjadi sebuah slogan bagi mahasiswa, yaitu Agen of Change, disebabkan oleh perilaku mahsiswa yang malas, mejauhi budaya intelektualitas, menjauhi pusat pergerakan dan ilmu pengetahuan yaitu buku dan perpustakaan yang ada. Maka mahasiswa bukan lagi mahasiswa apabila sudah meninggalkan budaya intelektualitas. Dan pula mahsiswa itu  bukanlah mahasiswa yang hanya mementingkan  modis dan style yang terlihat seperti mahsiswa, jika dalam benak dan otaknya kosong dari apa yang disebut dengan budaya literasi dan diskusi.
Jadilah mahsiswa sejati, bukan mahaiswa kaleng-kaleng yang hanya sekedar kuliah-pulang kuliah-pulang, dan tak ada sebuah pergerakan yang dapat merubah sebuah tatanan yang didiami oleh mahasiswa tersebut untuk dirinya maupun masyarakat luas. Tak hanya jadi mahasiswa yang menjadi babu tugas, yang hanya datang menemui buku kala tugas dari dosen anu dan dosen anu. Bila  sudah, hanguslah keinginan untuk menjumpai buku, sehingga buku itu pun hangus pula lah termakan debu.
Apa yang saya tulis ini benar terjadi apa adanya, dan kita hanya diam selaku mahasiswa yang mempunyai legalitas mengkritik apa yang salah didalam sebuah tatanan masyarakat, dan dicantum disini adalah masyarakat kampus yang sangat antipati terhadap budaya baca dan tulis, pula terhadap budaya literasi yang terdapat di dalamnya.
Saya tidak tau berapa persen kah mahasiswa yang akan membaca tulisan saya ini, dan berapa persen kah mahasiswa yang berani membalas tulisan ini dengan tulisan atau sanggahan yang lebih baik dan menuju landasan empiris di dalam suatu khazanah keilmuan. Ataukah tulisan ini akan kabur saja, sehingga membenarkan argumen saya bahwasanya mahasiswa sekarang sudah meninggalkan budaya literasi dan budaya baca tulis. Yang jikalau itu terjadi, maka apa yang menjadi slogan bagi mahasiswa itu sendiri yaitu Agent of Change itu tak pantas lagi di sandangkan kepada mahsiswa zaman ini. Karena mereka hanya mementingkan style dan gaya saja, bukan isi dan ilmu pengetahuan yang mendalam. Wallāhu A’lam.

1 Komentar

Halo sobat Aksara!
Jika mari berkomentar dengan memberikan gagasan atau pendapat yang terbaik, kita jauhi komentar yang mengandung hal yang tidak diinginkan yaa!

Lebih baru Lebih lama