Ilustrasi gambar: Pinterst.id https://pin.it/6zYsLou |
Oleh: Nur Aida Hasanah
Kita tahu betul dengan slogan "Buku Jendela Dunia", keberadaannya sudah tidak asing lagi di telinga kita. Begitu pula dengan slogan "Buku Adalah Jembatan Ilmu", "Sumber Pengetahuan", dan lain sebagainya. Itu semua adalah gelar mulia untuk sebuah media bernama 'buku' yang telah menjembatani pikiran demi pikiran manusia yang mau membaca dan memahami isinya.
Tentunya, slogan bukan sekadar slogan. Manfaat yang bisa didapat dari sebuah buku itu luar biasa. Membaca sebuah buku itu adalah kebiasaan 'generasi emas. Dimana dengan istilah tersebut, menunjukkan bahwa generasi tersebut bukan hanya mampu menciptakan keajaiban untuk dirinya sendiri, tetapi untuk semua orang di dunia juga.
Contohnya, pada buku "Merindu Baginda Nabi" karya Habiburrahman El-Shirazy, dijelaskan oleh tokoh ceritanya yang bernama Rifa, bahwa Amerika itu unggul pada sisi literasinya. Maka, tidak heran jika negara mereka berada dalam kategori 'negara maju'.
Pastinya, bukan hanya negara Amerika yang memiliki budaya literasi bagus seperti itu. Negara maju seperti Finlandia, Swedia, Belanda, Jepang dan Australia pun memiliki budaya literasi yang kuat.
Sekarang, mengapa budaya literasi disangkut-pautkan dengan majunya sebuah negara? Alasannya, membaca buku itu membuka pikiran kita. Dengan membaca buku, pelajaran yang akan kita dapat bisa semakin luas lagi. Pikiran kita bisa terasah, menjadi kritis, dan tidak mudah terpengaruh oleh sesuatu yang belum jelas dasarnya. Lalu, lihatlah bagaimana negara-negara maju itu tumbuh. Mereka menggunakan pikiran mereka yang telah terasah untuk memasyhurkan negaranya.
Dampak literasi yang kuat itu bukan semata-mata dari buku ke mata. Bukan semata-mata dipahami sendiri. Kekuatan sebuah literasi itu bukan hanya dalam ranah literasi kegiatan membaca, tetapi juga dalam ranah kegiatan menulis karya, penelaahan, riset, renungan, public speaking dan sebagainya. Tidak jarang, orang yang kebiasaan literasinya kuat—minimal dari segi membacanya—ketika berbicara ucapannya begitu menggetarkan dan memotivasi. Tidak jarang pula, jika berdebat argumentasinya begitu kuat, sehingga mampu mengalahkan pihak lawannya.
Okay. Sekarang kita beralih melihat 'ulama kita terdahulu. Kita pasti pernah mendengar nama-nama berikut, Imam Al-Bukhari, Imam At-Tirmidzi, Imam Muslim, lalu ada Imam-Imam dari 4 Mazhab, Imam Nawawi, dan juga ilmuwan seperti Al-Khawarizmi, Al-Idrisi, dan semacamnya. Merekalah bagian dari generasi emas, bagian dari generasi terbaik yang ada sebelum kita. Merekalah para bintang yang telah mengukir sejarah Islam yang gemilang pada sejarah selama berabad-abad lamanya. Manfaat yang mereka berikan begitu terasa oleh kita sampai saat ini. Mulai dari ilmu hadits, fiqh, sampai ke ilmu matematika dan juga sains, semua itu masih kita pelajari.
Lalu, mengapa cahaya kejayaan Islam sekarang perlahan redup? Bukankah, umat Islam sudah banyak sekarang ini? Bahkan, Indonesia yang katanya memiliki masyarakat mayoritas beragama Islam peringkat literasinya kedua dari bawah. Apakah ada sesuatu yang salah dari kita?
Marilah, kita kembali mengingat wahyu pertama yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad, Iqra (bacalah!).
Di dalam buku Tafsir Al-Qur'an Kontemporer jilid 1, karya Aam Amiruddin, makna 'Iqra' itu relevan dengan makna 'literasi'. Iqra dan literasi sama-sama memiliki arti bukan sebatas kegiatan membaca dan menulis. Kedua istilah tersebut menekankan kepada kita, bahwa pengembangan ilmu itu penting untuk kemajuan sebuah bangsa. Kegiatan tersebut merupakan kunci kesuksesan kita sebagai khalifah fiil ardh, apabila dibarengi dengan zikir, pemahaman, pengamalan, dan transfer ilmu.
Begitu gamblang Al-Qur'an telah menuntut kita untuk melakukan literasi dari ribuan abad lalu. Tidak heran, kalau Rasulullah dan generasi salafush-shalih disebut sebagai generasi terbaik.
Oleh karena itu, mari kita menggeluti bidang literasi ini. Mulailah dari dirimu sendiri. Semakin banyak dari kita yang bergelut di bidang literasi, maka era generasi emas itu mungkin saja akan segera tiba.