NOVEL : I WILL MISS RAMADHAN PART 2


Sumber: Pinterest

BAB 2
Bahagia Itu Sederhana


“Usia boleh tua, tapi jiwa harus tetap muda.”
-Bu Mirah-

“Muti, ini Ibu,” celetuk Mirah—perempuan paruh baya—sembari mengarahkan senter ke jalan.

Mata Muti menyipit untuk memastikan. “Yaelah, Bu, aku kaget. Lagian kenapa dari tadi Ibu gak bersuara, sih?”

“Ibu mastiin dulu kalo itu kamu, Nak. Ayo sini!” Perempuan itu menghampiri anaknya, langsung berbagi payung.

Payungnya beralih ke tangan Muti. Dia yang menawarkan. Kasian juga ibunya sudah repot-repot menjemput.

“Ibu lain kali gak usah jemput aku lagi, ya. Cuacanya lagi gak bersahabat, mana dingin lagi. Gimana kalau Ibu sakit?” ucap Muti merangkul Bu Mirah dengan sebelah tangannya yang kosong.

Bu Mirah menghela napas panjang. “Ibu, kan, khawatir kamu pulang malam sendirian.”

Hmm, maafin aku, ya, Bu. Ini kesempatan aku buat ngumpul sama temen-temen. Besok-besok aku bakal sibuk nyari kerja.”

Keesokan harinya, Bu Mirah sedang memberi makan ayam-ayam di kandang belakang rumah. Sudah menjadi rutinitas setiap pagi. Bu Mirah menyayangi binatang peliharaannya itu walaupun terkadang mereka suka mencuri dagangannya.

Seharusnya, sekarang jadwal Bu Mirah ke pasar. Tetapi, kali ini ia tidak berangkat pagi karena harus membantu Muti persiapan—mencari lowongan pekerjaan. Maksudnya, menyiapkan sarapannya, memperhatikan perlengkapan yang dibutuhkan, sampai memastikan Muti pergi tanpa ada yang kurang. Yaa, anak itu memang agak ceroboh. Jika tidak ada ibunya, pasti ada sesuatu yang tertinggal.

“Bu, aku berangkat, ya?” izin Muti, menghampiri. Dia mengulurkan tangan untuk menyalami ibunya.

Bu Mirah sontak menoleh, lantas berdiri. “Tangan ibu kotor habis ngasih makan ayam.”

“Gak papaa.” Muti meraih tangan ibunya.

Seketika senyuman terbit di wajah Bu Mirah. Ia senang Muti mencium tangannya tanpa takut kotor atau bau. Diamatinya penampilan Muti yang mencangklong totebag. Gadis berusia delapan belas tahun itu mengenakan pakaian hitam putih bak calon pekerja yang akan di-interview. Mata Bu Mirah berkaca-kaca, berdoa dalam hati semoga lamaran anaknya ada yang menerima.

“Semoga Allah mempermudah urusan kamu, ya. Hati-hati di jalan, kalo cape istirahat dulu. Jangan berhenti berdoa!” pesan Bu Mirah.

Muti langsung hormat layaknya hormat bendera. “Siap laksanakan, Kanjeng Ratu!”

“Semuanya udah dibawa? Gak ada yang ketinggalan?”

“Udah, doong!” timpal Muti percaya diri.

“Surat lamaran, hp, dompet, pulpen, pensil?” Bu Mirah mengabsen barang-barang yang harus Muti bawa.

Mata Muti membulat. Ah, dia menepuk keningnya sendiri. “Uang buat ongkos belum aku bawa! Di rak biasa, ya?” Muti terbirit-birit masuk ke dalam.

Bu Mirah mengembuskan napas seraya menggelengkan kepala. Entah bagaimana jika Mutii naik kendaraan umum tanpa membawa uang. Bukan hanya malu, tetapi dia akan kelabakan mencari cara untuk bisa membayar tumpangannya. Ada yang pernah mengalami?

Gadis itu terdiam sejenak menatap uang lima puluh ribu yang dia ambil dari atas rak di bawah buku—tempat biasa Bu Mirah memberi uang untuk Muti. Pasalnya, belum pernah dia menerima uang sebesar itu hanya untuk ongkos saja. Dia tahu, pasti ibunya bersusah payah untuk mendapatkan uang tersebut.

“Uangnya gak bakal cukup, ya? Maaf, ibu cuman bisa bekalin kamu segi-“

“Gak, kok, ini udah cukup. Makasih, ya, Bu. Aku berangkat!” jawab Muti menginterupsi ucapan ibunya yang tampak dari jendela dapur sedang menatapnya dekat kandang.

Setelah Muti berangkat dan menyelesaikan pekerjaan rumah, Bu Mirah langsung berangkat ke pasar untuk membeli bahan-bahan jualan. Ia sudah berjualan masakan dan gorengan keliling selama satu tahun semenjak suaminya meninggal. Bakat memasaknya ia gunakan untuk menghasilkan uang supaya bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari dan menyicil utang.

Baca juga: NOVEL: "MEOW!"

***

Waktu menunjukkan pukul setengah sembilan. Tetapi, Pasar Merah masih ramai pengunjung. Satu jam yang lalu pasar itu masih dijejali banyak orang. Mereka berdesakan, membeli keperluan masing-masing. Apalagi hari ini adalah hari menjelang puasa. Pasti hampir semua rumah berbelanja lauk pauk dan lain sebagainya. Penjual dan pembeli bergerak interaktif. Belanja agak siangan enak juga, pikir Bu Mirah. Namun, ada konsekuensi, yaitu kehabisan atau dapat bahan belanja sisa pilihan orang.

Beberapa jongko dikunjungi oleh Bu Mirah sampai tangannya menjinjing satu kantong penuh. Jalannya melambat karena barang bawaan lumayan berat. Kini Bu Mirah berhenti di pinggir jalan, dekat parkiran, berniat untuk mengecek dompet dan menyiapkan ongkos pulang. Tiba-tiba, seseorang berhenti di depannya.

“Assalamu’alaikum, Ibu,” sapa pemuda berponi melemparkan senyum ramah.

“Wa’alaikumussalam,” sahut Bu Mirah sambil menyidik-nyidik wajah pemuda tersebut. “Eh! Fahdan, ya?”

“Hehe, iya.” Fahdan melirik kantong belanjaan yang ada di samping Bu Mirah, lantas dia bertanya, “Ibu habis belanja?”

“Iya, nih. Biasa … buat jualan, hhe.”

Fahdan manggut-manggut. “Ibu, saya antar pulang, ya. Boleh? Kebetulan saya juga mau pulang, gantian sama abi jaganya.”

Aduh, ibu naik angkot aja. Kasian kamu cape abis jualan,” tampik Bu Mirah tidak ingin merepotkan.

“Gak papa, Bu. Aku bawa mobil, kok. Ehsan yang nyetir, hehe.”

Tidak lama kemudian, Bu Mirah sudah ada di dalam mobil. Sesuai perkataan Fahdan, yang menyetir mobilnya adalah Ehsan, teman Muti juga. Si kemeja lovers itu selalu saja berkicau megalahkan burung.

Ehsan sesekali menoleh ke belakang. “Bu, ibu kan jualan masakan. Kalo gitu, tau banyak resep, dong. Kebetulan aku mau nanya resep, nih.”

“Boleeh. Resep apa, San?”

“Resep jadi menantu Ibu,” celetuk Ehsan diikuti tawanya.

Fahdan dan Bu Mirah juga tertawa kecil karena candaan pemuda itu.

“Waduh, kalo itu mah urusan Allah. Emang Ehsan udah siap menikah?”

“Belum, sih. Tapi, kalo Ibu udah ngasih lampu ijo mah, Ehsan jadi ngedadak siap.”

Mendengar itu, Fahdan sontak membalas, “Siap apa, Tuan? Banyak hal yang harus dipersiapkan sebelum menikah. Harus siap fisik, mental, ilmu, finansial, dan lainnya. Gimana?”

Ehsan menyengir sambil menggaruk kepala dengan tangan kiri. “Iya, deh, iya. Gue bercanda kalii, ah! Serius amat.”

“Kalian cocok kalo jadi adik kakak. Yang satu kayak Ehsan, satu lagi kayak Fahdan yang suka ngingetin. Akur terus, yaa. Ibu senang Muti punya teman baik seperti kalian,” tutur Bu Mirah memandang keduanya dari belakang secara bergantian.

Dengan laga sombong, Ehsan menepuk dada dengan kepalan tangannya. Berbeda dengan Fahdan yang hanya tersenyum tipis tanpa mengeluarkan gerakan apa pun.

Tidak terasa, mereka sudah sampai di halaman rumah sederhana bercat merah muda. Seperti halnya tadi, Fahdan membawakan kantong belanjaan Bu Mirah usai turun dari mobil.

Mereka dibujuk untuk mampir dulu. Keduanya pun memasuki rumah yang diapit oleh kebun jagung itu. Rumahnya tidak besar, tetapi tertata dengan rapi dan bersih. Selalu saja begitu. Entah ke berapa kali mereka masuk ke sana. Rasa nyaman dan sejuk selalu dapat mereka rasakan.

Saat zaman sekolah, biasanya ada sosok pria yang mengajak mereka mengobrol. Di tengah-tengahnya ada beberapa piring berisi gorengan, singkong goreng atau rebus, cemilan pasar, ditemani teh manis hangat. Sekarang, hanya ada cemilan pasar dan kue bandros, karena Bu Mirah belum membuat gorengan apa-apa. Pria yang menemani mereka juga sudah dipanggil oleh Allah.

Baca juga: SEBENAR PAHAM CINTA

“Silakan dimakan, jangan diliatin aja! Besok udah puasa, gak bisa gini lagi,” titah Bu Mirah.

“Makasih banyak, Bu. Jadi merepotkan,” ucap Fahdan sudah duduk sila di atas tikar.

“Iya, jadi merepotkan,” sambung Ehsan sembari memasukkan kue bandros sekaligus ke mulut.

Seketika ekspresinya berubah, matanya terbelalak. “Huh!! Hangahs, hangahs!” keluh Ehsan sambil mengipas-ngipas mulutnya yang terbuka. Tampak matanya berkaca-kaca.

Bu Mirah melongo melihat Ehsan. Sedangkan Fahdan menautkan kedua alis, lantas beberapa detik kemudian tersenyum menunjukkan deretan gigi yang rapi dan lesung pipi. “Astaghfirullah … ada-ada aja kamu.”

Bu Mirah dan pemuda berponi saling memandang dan tertawa.

Huaah, masih panas gila!” celetuk Ehsan setelah berhasil menelannya.

“Makanya kalo mau makan itu izin dulu, bismillah dulu, makan pelan-pelan. Kalo gitu kan jadinya setan ngetawain kamu.”

“Kamu setannya, Dan. Kamu kan tadi ngetawain.”

“Bu Mirah juga ketawa tadi,” bisik Fahdan di telinga temannya.

E-eh, Bu, sa-saya gak bermaksud ngatain Ibu, kok. Lampu ijonya gak jadi kuning, ‘kan, Bu?”

“Jadi merah, sih.”

Yah!!”

“Hehe. P-pless … iet!” seru Bu Mirah memajukan piringnya ke arah mereka.

Ehsan dan Fahdan saling memandang, tidak paham maksud perkataan Bu Mirah.

Bu Mirah buru-buru berkata, “Hehe, silakan makan!”

Oalaaaa, please eat maksudnya! Keren Ibu belajar bahasa inggris dari mana?” sahut Ehsan menahan tawa.

“Dari anak-anak SD pas ibu lewat lagi jualan.”

A-aah, iya,” timpal Ehsan tersenyum kikuk, melirik Fahdan di sampingnya.

“Masyaallah! Ibu hebat mau belajar,” puji Fahdan menyunggingkan senyum simpul.

Rumah yang sepi jadi bersuara karena kedatangan dua pemuda itu. Sayangnya, Mona dan dua teman lainnya tidak ikut ke sana. Fyi, mereka sudah tahu kalau hari ini Muti akan mencari pekerjaan. Jadi, tidak berani bertanya ataupun berkunjung ke rumahnya.


Penulis  : Wika Hermawanti
Editor    : Nur Aida Hasanah

 


Posting Komentar

Halo sobat Aksara!
Jika mari berkomentar dengan memberikan gagasan atau pendapat yang terbaik, kita jauhi komentar yang mengandung hal yang tidak diinginkan yaa!

Lebih baru Lebih lama