Oleh: Tuan Andanu
Dicatat di salahsatu kossan kawan, Bintara, Bekasi Timur.
Sabtu, 09/02/2019/
***
Dari bising jalan,
Aku keluar!
Memasuki hiruk pikuk pemukiman sebuah kossan kumuh.
Bintara, Bekasi Timur.
Ayam kelayapan-keluyuran,
Bersama sepasukan lalat-lalat hitam dan hijau.
Menyinggahi teras rumah,
Menghinggapi pipi dan hidung manusia.
Geli, jijik!
"Inilah suasana kossan, kang." Seloroh kawan.
Sangat apa adanya.
***
Membayangkan,
Bila saja pekarangan dirapihkan,
Bebatuan ditumpuk estetis,
Sampah-sampah ditata,
Dan masyarakat digerakkan bersama,
Namun, jangan membayangkannya!
Penghuni kos sudah keletihan memikir besok dapat tambahan pemasukan dari mana.
Bayar kos, anak jajan, cicil kriditan, dan seabreg persoalan lain yang meringkus.
Apalagi dibawa mikir perjuangkan nasib yang sekilas raib, jangan!
_Cukup luka menganga, usah ditaburi garam pula._
Membayangnya, jangan!
***
Maka aku memandangi lembayung sore ke langit barat,
Merah jingga dengan umpukan awan tiga warna.
Hitam, biru, dan orange.
Seni lukisan yang hidup,
Mengagumkan.
Kesan-kesan teduh damai.
Betapa pantas aku rindu,
Pada nasib baik di langit itu,
Bilakah lagi,
Seketika menoleh ke bawah, sampah di tanah sudah menggunduk.
Berserakan tak tentu dudukkan.
Aku ingin segera pergi,
Meninggalkan bumi,
Lalu menaiki tangga langit nun tinggi.
Amat gomblok,
Aku membayangkan indahnya makhluk langitan.
Apalagi sang pencipta langit bumi dan isinya.
Aku menyimpan harapan dapat duduk manis di barisan itu,
Lalu menanggalkan sampah tanpa perlu diburu wabah.
Hanyasaja,
Duka kami lebih nyata,
Diriku tak lain, masih penghuni bumi setia.
Bersama sampah dan sekumpulan lalat.
Senang mengumpat,
Gemar menghujat,
Dan malah aku terus dihinggapi lalat-lalat,
Betapa mereka begitu merasa dekat,
Umpama mengenaliku teramat sangat.
Bah!
Mereka mengerumuniku ibarat sanak famili yang lama tidak berjumpa.
Keningku jadi mengerut,
Lalat, Bantu aku jawab.
Ada masa lalu apa antara kami dan kalian?
Begitu dekat, tapi saling melaknat.
Reborn kutukan kah?
Jangan dibayang!
Seindahpun langit, itu tetap khayal jauh di sana.
Sejijik apa kau pada sampah bumi, itu nyata di sini.
Kau penghuni bumi,
Lalat yang tidak bersayap!
Beterbangan dengan cara jalan dan menebar serum jentik.
Malapetaka!
Manusia rindu pada dirinya.
Yang lama ditinggalkan.
Dan kini bersua, tahulah kita siapa kita sesungguhnya.
Dicatat di salahsatu kossan kawan, Bintara, Bekasi Timur.
Sabtu, 09/02/2019/
***
Dari bising jalan,
Aku keluar!
Memasuki hiruk pikuk pemukiman sebuah kossan kumuh.
Bintara, Bekasi Timur.
Ayam kelayapan-keluyuran,
Bersama sepasukan lalat-lalat hitam dan hijau.
Menyinggahi teras rumah,
Menghinggapi pipi dan hidung manusia.
Geli, jijik!
"Inilah suasana kossan, kang." Seloroh kawan.
Sangat apa adanya.
***
Membayangkan,
Bila saja pekarangan dirapihkan,
Bebatuan ditumpuk estetis,
Sampah-sampah ditata,
Dan masyarakat digerakkan bersama,
Namun, jangan membayangkannya!
Penghuni kos sudah keletihan memikir besok dapat tambahan pemasukan dari mana.
Bayar kos, anak jajan, cicil kriditan, dan seabreg persoalan lain yang meringkus.
Apalagi dibawa mikir perjuangkan nasib yang sekilas raib, jangan!
_Cukup luka menganga, usah ditaburi garam pula._
Membayangnya, jangan!
***
Maka aku memandangi lembayung sore ke langit barat,
Merah jingga dengan umpukan awan tiga warna.
Hitam, biru, dan orange.
Seni lukisan yang hidup,
Mengagumkan.
Kesan-kesan teduh damai.
Betapa pantas aku rindu,
Pada nasib baik di langit itu,
Bilakah lagi,
Seketika menoleh ke bawah, sampah di tanah sudah menggunduk.
Berserakan tak tentu dudukkan.
Aku ingin segera pergi,
Meninggalkan bumi,
Lalu menaiki tangga langit nun tinggi.
Amat gomblok,
Aku membayangkan indahnya makhluk langitan.
Apalagi sang pencipta langit bumi dan isinya.
Aku menyimpan harapan dapat duduk manis di barisan itu,
Lalu menanggalkan sampah tanpa perlu diburu wabah.
Hanyasaja,
Duka kami lebih nyata,
Diriku tak lain, masih penghuni bumi setia.
Bersama sampah dan sekumpulan lalat.
Senang mengumpat,
Gemar menghujat,
Dan malah aku terus dihinggapi lalat-lalat,
Betapa mereka begitu merasa dekat,
Umpama mengenaliku teramat sangat.
Bah!
Mereka mengerumuniku ibarat sanak famili yang lama tidak berjumpa.
Keningku jadi mengerut,
Lalat, Bantu aku jawab.
Ada masa lalu apa antara kami dan kalian?
Begitu dekat, tapi saling melaknat.
Reborn kutukan kah?
Jangan dibayang!
Seindahpun langit, itu tetap khayal jauh di sana.
Sejijik apa kau pada sampah bumi, itu nyata di sini.
Kau penghuni bumi,
Lalat yang tidak bersayap!
Beterbangan dengan cara jalan dan menebar serum jentik.
Malapetaka!
Manusia rindu pada dirinya.
Yang lama ditinggalkan.
Dan kini bersua, tahulah kita siapa kita sesungguhnya.
Tags
Sastra