Dari Sujiwotejo sampai RG

Oleh: Tuan Andanu
Dicatat dalam gelisah tanpa petuah.
Sanggar Pembebasan, 13/02/2019.

***
Sebagai anak rakyat,
Aku hilang percaya pada pejabat; Aku membenci diriku sendiri, pejabat rakyat yang tak jelas riwayat.



Dengan mengakui Tuhan dan aturan dedemokrasian, ah, entah kenapa aku masih rakyat tak bertuan.

Aku tidak percaya dengan partai,
Bubarkan partai mana berani?!

Aku riskan masuk ormas,
Rakyat cemas kita tak punya alas untuk bersitegas: "Jangan ganggu rumah tangga ormas!"
Jadinya, aku sebut diriku pemalas profesional. Penakut akut yang kultural.

Jadi diri sendiri lebih takut!
Sebab diriku dimintai Tuhan pertanggungjawaban,
Malah sejak di bumi dipaksa tunduk pemerintahan.
Betapa banyak Tuhan dan Tuan?
Sendirian memang perlu persembunyian.
Menetap di Gua tak usah keluar lagi,
Membusuklah di sana tanpa layatan,
Hidup mati tak ada yang mengenali.
Bila mati hanya segitu, kenapa mesti ada kelahiran aku oleh ibuku dulu?

Aku tak bisa bila tidak bertuhan,
Tapi orang lain serius menyembah Tuhan, aku takut, geregetan, dan membentak-bentak tak karuan.

Aku enggan bernegara,
Kenapa dipaksa tunduk sebagai penduduk?!

Sampai sajakku melihat dagelan baru.

Aku takut jika bertuhan, toh para penyembahnya mengikuti pikiran orang tanpa Tuhan.

Aku malu tidak bertuhan,
Toh setiap omongannya kutipan firman-firman Tuhan,
Aduhai lebih seringnya,
Akal fikir dari Tuhan yang digunakan.
Malu benar bila sadar.

Lihat,
Dari Sujiwo hingga ke RG,
Tuhanku kalah pamor,
Oleh sekian pengikutnya yang banyak molor.

Inilah saat,
Dimana Tuhan dibela oleh para penglupa.
Dan orang lupa membuang Tuhan tanpa ingatan.

Sehingga,
Pengagum Tuhan menepuk-nepuk tangan,
Terus menepuk, bersahutan, berbarengan, sampai di puncak lupa ingatan,
"Aku mengagumi pengobral kebenaran yang tidak bertuhan. Dan kenapa, para penyembah-Nya tidak kunjung bisa jadi rujukan?!"

Untuk kritis dan logis,
Misalkan sejajar dengan Sujiwo dan RG,
Siapa peduli soal agama,
Bicara kritis dan logis, kita hanya perlu membaca.
Lantas Agama?
Tanyakanlah pada aku,
Di rak lemari mana aku simpan pedomannya.

Bila begini,
Aku malu menjadi penyembah Tuhan,
Melebihi malunya netralis Tuhan.

Sekali lagi,
Aku malu,
Bila Tuhan dibela orang habis-habisan,
Dan aku hanya bertepuk tangan.

Babak baru,
Tanpa partai, ormas, dan agama.
Tak perlu lagi ayat satu pancasila.
Ayo, mau bagaimana?
Tanpa Tuhan keadilan bisa ditegakkan?
Atau tanpa keadilan, ketuhanan tidak dapat ditegakkan?

***
Plakkk!!!
Pipiku didamprat aparat agama penegak hukum manusia.

"Baca..!", firman Tuhan di banyak kitab fikir berkemajuan.

Malu,
Aku tidak bisa membaca, bu.

Posting Komentar

Halo sobat Aksara!
Jika mari berkomentar dengan memberikan gagasan atau pendapat yang terbaik, kita jauhi komentar yang mengandung hal yang tidak diinginkan yaa!

Lebih baru Lebih lama