Sang Legenda Sajak, Sapardi Djoko Damono


Sapardi Djoko Damono~Sumber: Gramedia


Mengutip dari Ensiklopedia Kemdikbud RI, Sapardi Djoko Damono terkenal sebagai penyair legendaris Indonesia. Ia kerap dipanggil dengan singkatan namanya, SDD. Di samping itu, SDD juga terkenal sebagai dosen, pengamat sastra, kritikus sastra, dan pakar sastra. SDD lahir sebagai anak pertama pasangan Sadyoko dan Saparian, di Solo, Jawa Tengah, tanggal 20 Maret 1940. Dia berasal dari Solo, tepatnya Ngadijayan.

Setelah menyelesaikan pendidikan ditingkat SMA, ia kuliah di Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pernah memperdalam kajian kemanusiaan (humanities) di University of Hawaii, Amerika Serikat (1970-1971).

Pada tahun 1980, SDD memperoleh gelar doktor dalam ilmu sastra dengan disertasi berjudul Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur. Pada tahun 1995, ia dikukuhkan sebagai guru besar di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.

Baca juga: Tips Menulis Puisi untuk Pemula

Selain mengajar sebagai dosen dibeberapa kampus di Indonesia, SDD tampil aktif dalam berbagai lembaga seni dan sastra. Antara lain sebagai Direktur Pelaksana Yayasan Indonesia Jakarta (1973-1980), redaksi majalah sastra Horison (1973), Sekretaris Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin (sejak 1975), anggota Dewan Kesenian, anggota Badan Pertimbangan Perbukuan Balai Pustaka Jakarta (sejak 1987) dan lain-lain.

Pada tahun 1986, SDD mengemukakan perlunya mendirikan organisasi profesi kesastraan di Indonesia. Ia mendirikan organisasi bernama Himpunan Sarjana-Kesusasteraan Indonesia (Hiski) pada tahun 1988 dan terpilih sebagai Ketua Umum Hiski Pusat selama tiga periode.

Selain tampil aktif di dunia sastra dalam negeri, SDD juga sering menghadiri berbagai pertemuan internasional.Seperti Translation Workshop dan Poetry International di Rotterdam, Belanda tahun (1971), Seminar on Literature and Social Exchange in Asia di Australia National University Canberra, dan lainnya.

SDD telah menulis banyak karya-karya yang melegenda diantara karya yang ditulisnya adalah puisi, novel, kritik, maupun karya sastra lainnya. Ia salah satu pelopor puisi liris dalam sejarah kesusasteraan Indonesia modern. Diksinya yang romantis membuat puisi Sapardi bisa diterima oleh berbagai kalangan, terutama anak-anak muda. Hal itu pun membuat dirinya dikenal oleh generasi milenal tanah air, bahkan mereka yang berada di luar lingkungan kesusasteraan Indonesia.

Pengaruh Sapardi Djoko Damono dalam Kesusastraan Indonesia

Sapardi Djoko Damono adalah seorang penyair yang berperan penting dalam dunia sastra Indonesia. Dalam Ikhtisar Kesusasteraan Indonesia Modern (1988) karya Pamusuk Eneste, Sapardi dimasukkan dalam kelompok pengarang Angkatan 1970-an. Dalam buku Sastra Indonesia Modern II (1989) karya A teeuw menggambarkan bahwa SDD adalah seorang cendekiawan muda yang mulai menulis sekitar tahun 1960.

Terlihat ada perkembangan yang jelas dalam puisi SDD, terutama dalam hal susunan formal puisi-puisinya. Oleh sebab itu, ia dikenal sebagai seorang penyair yang orisinil dan kreatif, dengan percobaan-percobaan pembaharuannya yang mengejutkan, tetapi dalam segala kerendahan hatinya, tentunya menjadi petunjuk tentang perkembangan-perkembangan Puisi dimasa mendatang.

Puisi karya SDD banyak mengambil simbol alam, SDD dalam sejumlah puisinya menggambarkan alam sebagai sesuatu yang hidup dan memiliki perasaan layaknya manusia. "Saya menganggap benda dan orang itu sama. Seperti anak kecil, saya menganggap benda sebagai teman," tutur pujangga legendaris Sapardi Djoko Damono

SDD juga disebut berhasil melanjutkan tradisi puisi liris yang dirintis oleh Amir Hamzah dan Chairil Anwar dalam kesusasteraan Indonesia modern. Oleh sebab itu Puisi-puisi Sapardi, menjadi bentuk puisi yang banyak ditiru oleh penyair-penyair muda di Indonesia.

Karya-karya Sapardi Djoko Damono

Buku puisi pertama Sapardi Djoko Damono adalah Dukamu Abadi (1969) dan mendapat respon positif dari kritikus sastra pada awal kemunculannya. Abdul Hadi WM dalam sebuah ulasan menyebut puisi SDD memiliki kesamaan dengan persajakan Barat di akhir abad 19.

Setelah menerbitkan buku puisi pertamanya, Dukamu Abadi, SDD kian giat menulis dan menerbitkan buku-buku lain, Sajak-sajak nya pun telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa termasuk bahasa daerah. Ia tidak saja aktif menulis puisi, tetapi juga cerita pendek. Selain itu, ia juga menerjemahkan berbagai karya penulis asing, menulis esai, serta menulis nomor kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola. 

Beberapa karya beliau di antaranya adalah Duka-Mu Abadi (1969), Lelaki Tua dan Laut (1973; terjemahan karya Enest Hemingway), Perahu Kertas (1983), Afrika yang Resah (1988), Hujan Bulan Juni (1994), Mata Jendela ( 2002) dan masih banyak lainnya.

Salah satu karya paling fenomena SDD dalam bentuk puisi “ Aku Ingin” berikut ini: 

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana;

Dengan kata yang tak sempat diucapkan

Kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana;

Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Puisi ini tentunya tak asing dimata sejumlah orang, karena sering kita temui dalam undangan pernikahan karena kata-katanya yang indah dan romantis. Acapkali jika diperhatikan dengan seksama, puisi ini bisa juga termasuk puisi patah hati.

Perhatikan pada bait pertama “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana”. Mencintai seseorang dengan sederhana, bagaimana mungkin? Saya kira setiap orang punya cara tersendiri dalam mengekspresikan cinta pada kekasih. Sederhana mempunyai arti tidak berlebih-lebihan, tidak tinggi, tidak rendah Artinya, Aku ingin mencintaimu dengan segala hal yang tidak berlebih-lebihan, tulus apa adanya.

Rajin menulis sejak duduk di bangku sekolah, membuat SDD kaya akan sejumlah karya yang rajin ia kirimkan ke majalah-majalah. Dan Lewat karya-karyanya yang cemerlang, SDD telah banyak menerima penghargaan dan hadiah sastra dari dalam dan luar negeri. Pada tahun 1963 Sapardi mendapat Hadiah Majalah Basic atas puisi Ballada Matinya Seorang Pemberontak. Pada tahun 1978 ia menerima Cultural Award dari pemerintah Australia.

Pada tahun 1983, ia memperoleh apresiasi berupa Anugerah Puisi-Puisi Putera II atas bukunya Sihir Hujan dari Malaysia. Pada tahun 1984 Dewan Kesenian Jakarta memberi penghargaan atas buku Perahu Kertas. Mataram Award diterima SDD pada tahun 1985. Hadiah SEA Write Award (Hadiah Sastra Asean) dari Thailand diterima pada tahun 1986.

SDD juga meraih Anugerah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1990. Kalyana Kretya dari Menristek RI diraih pada tahun 1996. Pada tahun 2003, ia mendapat penghargaan Achmad Bakrie Award for Literature. Disusul Khatulistiwa Award pada tahun 2004. Penghargaan dari Akademi Jakarta diraih pada tahun 2012.

Sisi lain Sapardi Djoko Damono

Selain bersajak, Sapardi hidup dengan hobi-hobi yang lain. Beberapa di antaranya adalah keluyuran dan bermain musik, khususnya gitar. Gambaran itu turut direkam Bakdi Soemanto dalam buku Sapardi Djoko Damono Karya dan Dunianya (2006). Menurutnya, Sapardi merupakan seorang yang suka keluyuran, seperti ayahnya, Sadjoko. Dengan demikian, Kampung Ngadijayan dan sekitarnya, yang mana menjadi tempat Sapardi menghabiskan masa kecil, tak habis-habisnya dijelajahi oleh SDD.

Dalam aktivitas keluyuran itulah SDD menjadikan tempat persewaan buku sebagai tempat yang paling sering disinggahi untuk menyalurkan hobinya membaca. Aktivitas keluyurannya tersusun dalam dua lapis makna. Lapis yang pertama keluyuran dalam artian fisik, dengan berjalan kaki berpindah-pindah tempat dari satu tempat- ke tempat lain.

“Keluyuran lapis kedua adalah penjelajahan pikiran melalui bacaan. Keluyuran dengan pikiran ini tampaknya juga disertai dengan ‘omong-omong’ dengan bahan bacaannya."

Yang paling menarik dari bagaimana cara beliau menulis puisi adalah ada pada intuisinya. SDD bisa dikatakan adalah tipe pengarang yang mulai menulis bukan karena ide atau gagasan yang dimiliki, melainkan karena entah bagaimana, ia tiba-tiba menggoreskan penanya, atau mengetik beberapa kata pada kertas atau layar monitor dan kemudian pengarang itu mengembangkannya, dan jadilah sebuah puisi, sajak, cerita pendek, atau bahkan novel.

Nampaknya, daya cipta SDD akan muncul apabila beliau sedang berada dalam suasana tertentu. Suasana yang dimaksud dalam bahasa Inggris disebut atmosphere.

Oleh sebab itu, ketika beliau sedang berada di suatu tempat misalnya di jalan Jakarta yang letaknya di kota Malang, puisinya yang kemudian lahir diberi judul "Gerimis Kecil di Jalan Jakarta, Malang".

Namun, puisinya bukan berupa pelukisan ataupun deskripsi dari jalan itu. Tidak ada gambaran tentang rumah-rumah, toko, warung, atau hotel dan juga kegiatan orang-orang di jalan itu. Yang dihadirkannya bukan gambaran tentang yang tampak dan terdengar di jalan itu, melainkan suasana batin beliau sendiri yang merespons suasana di jalan itu.

Inilah salahsatu kegemaran SDD, bukan hanya gemar kluyuran dalam arti fisik, melainkan juga kluyuran dalam arti penjelajahan pengalaman batin sendiri.

Pencapaiannya yang gemilang dalam bidang puisi, membuka jalan baginya melanglang buana. Sukses besar dalam dunia perpuisian semakin membuatnya lebih banyak kluyuran, bahkan wilayah jelajahnya semakin luas dan dalam.

"Puisi, bagi saya adalah hasil upaya manusia untuk menciptakan dunia kecil dan spele dalam kata, yang bisa di manfa'atkan untuk membayangkan, memahami, dan menghayati dunia yang lebih besar dan lebih dalam". Tutur sang pujangga sajak, Sapardi Djoko Damono.

Ini berarti, puisi bukan hanya sebatas ungkapan perasaan, atau luapan emosi seseorang, puisi pada umumnya juga harus mempunyai manfaat.

Di samping itu, kemampuannya dalam bermain gitar cukup baik. Beliau juga sering bermain dengan tim band-nya di acara kampus. Karena hobinya itu, beliau nampak tak dapat lepas dengan gitar kesayangannya. Saking hobinya bermain gitar, salah seorang temannya yang juga sastrawan, Umar Kayam menuturkan bahwa ia kerap membawa gitar ke kantor saat masih menjadi Dekan Fakultan Sastra, Universitas Indonesia.

Maka dari itu, beliau merupakan sepaket komplit akan wujud dari sastrawan sekaligus layak disebut seniman yang sejatinya tercatat dalam kamus besar sejarah penyair kenamaan Nusantara.

Abadi karena Sastrawan

Sapardi abadi karena Sastrawan. Kalau kata Pramoedya Ananta Toer, siapapun yang menulis, maka ia abadi. Sapardi meninggal dunia pada Minggu, 19 Juli 2020 di Rumah Sakit Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan, Banten.

Segenap penikmat karyanya diseluruh pelosok Nusantara pun berduka atas kepergian sosok besar bagi perkembangan sastra di Indonesia. mengutip ucapan Goenawan Mohamad saat Sapardi merayakan ulang tahun ke-77 pada 2017 lalu. “Sapardi (sedang) merayakan kelahirannya kembali.”

Boleh jadi Sapardi telah meninggal dunia. Namun, perginya Sapardi membuat karya-karya seakan terlahir kembali. Meski dalam bentuk raga dia tak lagi ada, namun karya-karyanya yang romantis dan meneduhkan hat abadi, dapat selalu dikenang sepanjang waktu.

Mengambil pelajaran dari kisah sang penyair legendaris Sapardi Djoko Damono. Menulis tidak sekedar menggoreskan tinta pada kertas kita tetapi yang akan dilihat kedepannya adalah manfaat dari menulis. Perlu kita ketahui kebiasaan menulis suatu bangsa akan mempengaruhi kemajuan bangsa pula, banyaknya negara maju yang sebagian besar masyarakatnya sudah sadar betapa pentingnya menulis dalam kehidupan.

Akhir kata izinkan saya mengutip kata Pramoedya Ananta Toer berikut ini:

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah”, " menulis adalah sebuah keberanian", “Semua harus ditulis, apa pun itu. Jangan takut tidak dibaca atau tidak diterima penerbit. Yang penting, tulis, tulis, dan tulis. Suatu saat pasti berguna”. 

Well, yuk mulailah menulis!

Penulis: Hilwa Khoirun Nazia
Editor: Rifki Muhammad Fajar


Posting Komentar

Halo sobat Aksara!
Jika mari berkomentar dengan memberikan gagasan atau pendapat yang terbaik, kita jauhi komentar yang mengandung hal yang tidak diinginkan yaa!

Lebih baru Lebih lama