BINGKISAN TERBAIK

Ilustrasi gambar: Pinterst.id

Oleh: Aulia Azizah

Ketika jam istirahat kerja datang, Alimah mendapatkan kabar tak menyenangkan. Kabar tersebut datang dari seorang guru BK di sekolah putranya yang menginjak kelas 9 SMP. Ia menuturkan bahwa anaknya telah melakukan perkelahian yang menyebabkan seorang anak mengalami luka yang cukup serius. Segera setelah mendapatkan kabar tersebut Alimah meminta izin dari pekerjaannya di pabrik untuk segera menemui putranya, Malik.

Sesampainya di ruang BK, Alimah mendapati Malik yang hanya bisa tertunduk di hadapan para guru. Di belakang Malik ada seorang laki-laki paruh baya dengan memakai setelan jasnya yang rapih sedang mondar-mandir, terlihat laki-laki tersebut seperti sedang menghubungi seseorang atau bahkan beberapa orang. Alimah sudah menduga bahwa itu adalah orangtua dari anak yang menjadi korban Malik.

Alimah menghela napas lalu memberanikan diri untuk masuk ke ruangan itu. Tatapan orang di sekeliling memandangnya sinis. Apalagi pria yang sedari tadi mondar-mandir dengan gelisah itu. Segera setelah dipersilahkan masuk, Alimah dipersilahkan duduk. Seorang guru BK usianya sekitar 30 tahunan menjelaskan kejadian yang telah diperbuat oleh Malik.

“Dengan berat hati, anak ibu untuk sementara ini belajar dulu. Setelah situasi dan kondisi yang cukup membaik kami dari pihak sekolah akan menghubungi ibu.”

Mendengar perkataan tersebut Alimah hanya bisa mematung. Ia tak habis pikir dengan apa yang disampaikan oleh guru tersebut kepadanya. Malik tidak akan mungkin berani menganggu seseorang. Untuk menepuk nyamuk yang hinggap di tubuhnya saja ia tidak berani, apalagi mendorong temannya dari atas tangga hingga temannya memiliki cedera yang parah. Sangat tidak masuk akal.

“Maaf, Pak. Saya tidak bisa menerima keputusan dari bapak guru ini. Anak saya adalah anak yang baik, dia anak yang amat penyayang dan penurut, tidak mungkin Malik mendorong temannya. Saya yakin ada salah paham di sini…”

Belum sempat Alimah menyelesaikan pembicaraannya, laki-laki paruh baya tersebut langsung memotong, “Halah! ibu ini sama aja ya kayak anaknya. Jelas-jelas anak ibu mendorong anak saya sampai terluka parah! Perlu bukti? Ini dia!” Sambil menunjukkan gambar seorang anak yang sedang terbaring dengan tangan yang diperban.

“Saya gak butuh bu uang ganti rugi dari ibu! Saya hanya ingin anak ibu dapat pelajaran dari apa yang telah dia perbuat kepada anak saya! Udahlah pak guru, beri anak ini pelajaran atau saya akan mengajukan tutntutan!”

Setelah melakukan diskusi yang sangat panjang, akhirnya diambil keputusan bahwa Malik harus menjalani skorsing selama dua minggu. Sesampainya di rumah, Alimah terduduk lesu. Air matanya tiba-tiba jatuh. Ia masih tak percaya atas apa yang tengah menimpa putra semata wayangnya.

Tiba-tiba, Malik datang dari arah dapur dengan membawakan segelas air putih kepada Alimah. Kini tangisnya semakin kencang. Alimah merangkul Malik sambil menagis tersedu-sedu.

“Kamu ini anak baik, Lik. Maafkan ibu yang terlalu sibuk bekerja hingga kurang memperhatikan Malik. Maafkan ibu yang gagal menjadi seorang ibu sekaligus ayah yang baik untuk Malik. Malik anak yang baik dan ibu yakin akan hal itu. Malik gak mendorong teman Malik, kan?” Malik hanya menggeleng di dalam pelukan ibunya.

Setelah kejadian tersebut, bukan hanya nama Malik yang tercoreng, nama Alimah pun ikut terbawa. Para tetangga yang berada dekat dengan kontrakkannya enggan untuk berbicara lama-lama bahkan tak sedikit yang membuang muka di hadapan Alimah. Mereka juga melarang anak-anaknya untuk bermain bersama Malik. Keadaan tersebut rupanya membuat Alimah tertekan. Namun, yang lebih membuat Alimah tertekan adalah melihat Malik yang semakin hari semakin menjadi pendiam. Malik terlihat kesepian. Setiap hari menyendiri di kamarnya, keluar hanya untuk sekedar duduk di atas kursi yang berada di dalam rumah hanya untuk melihat anak-anak kecil yang sedang bermain atau orang-orang yang sedang berlalu lalang. Hati Alimah hancur. Ia akan menemukan segala cara agar anaknya bisa kembali pulih seperti sediakala.

Sudah hampir dua Minggu Malik tidak sekolah. Belum ada pihak sekolah yang menghubungi Alimah setelah kejadian tersebut. Malik terlihat kurus. Setiap Alimah pulang dari pabrik, ia selalu mendapati Malik yang sedang tertidur. Makanan yang Alimah sediakan sedari pagi terkadang sama sekali tidak disentuh oleh putranya.

Alimah tidak bisa membiarkan hal ini. Keesokan harinya, ia memutuskan untuk bolos kerja dan menemui anak orang kaya itu. Ia ingin kebenaran. Setelah Alimah mendapatkan alamat anak tersebut dari pihak sekolah, segera ia mengunjungi alamat yang dituju.

Di balik pagar rumah minimalis namun terkesan mewah, Alimah bergetar. Takut jika apa yang ia dapati ternyata kebenaran bahwa memang anaknyalah yang bersalah. Alimah mengetuk pintu. Belum ada jawaban. Sekali lagi. Lalu seorang perempuan tua dengan tampilan yang rapih terlihat membuka pintu.

Alimah dipersilahkan masuk. Ia mendapati seorang anak yang sedang makan. Alimah tersenyum lega, anak itu sudah sembuh. Tidak ada lagi perban yang melilit tangannya. Namun hatinya kembali tersayat. Lalu Malik? Makan pun tak mau karena hatinya sedang terluka parah.

Ternyata, perempuan tua tersebut adalah nenek dari anak orang kaya itu. Namanya Nenek Tuti. Beliau memiliki sifat yang lemah lembut. Terbukti ketika ia memanggil cucu kesayangannya untuk bergabung bersama kami di ruang tamu. Nampak sekali wajah yang tegang dari anak itu. Alimah tetap tersenyum, ia ingin agar suasana terlihat mencair.

"Fahar, ini waktunya kamu untuk mengunkapkan semuanya kepada ibu Malik." Alimah hanya bisa mengerutkan keningnya dan muncullah pertanyaan-pertanyaan dalam pikirannya.

Anak itu tertunduk, lalu akhirnya ia berani untuk mengungkapkan kejadian sebenarnya. "Maafkan Fahar, bu. Sebetulnya Malik tidak bersalah. Semua salah Fahar. Malik itu terlalu baik. Fahar iri. Tapi Malik mudah disuruh-suruh, akhirnya Fahar memanfaatkan itu. Tapi Fahar menyesal." Suasana tiba-tiba hening. Alimah hanya bisa menahan agar air matanya tak jatuh.

"Soal Fahar yang jatuh dari tangga, itu kesalahan Fahar. Awalnya, Fahar melihat Malik membawa kardus kecil berisikan kalung. Fahar pikir, kalung itu hadiah untuk teman perempuan yang Malik sukai, tapi ternyata untuk ibunya Malik. Akhirnya Fahar mengambil kalung itu tanpa sepengetahuan Malik. Di tangga Fahar memberi tahu Malik, kalau kalung tersebut sudah Fahar jual ke tempat lain. Malik marah. Tapi teman-teman Fahar memegang Malik agar tidak berontak. Tapi Fahar ingin membuat Malik berontak. Fahar mengejek Malik yang tidak punya ayah, memukul Malik dan bilang bahwa hadiah yang ia bawa tidak ada apa-apanya." Fahar menghentikan pembicaraannya. Ia merasa tak enak jika harus terus melanjutkan perkataannya karena melihat Alimah yang sudah berlinangan air mata dengan pandangan yang tertuju pada Fahar.

"Lanjutkan." Ucap nenek Tuti. "Lalu Malik benar-benar marah. Ia ingin melepaskan diri dari teman-teman Fahar. Akhirnya dengan sekuat tenaga ia berhasil. Fahar yang panik melihat Malik begitu marah, dengan sendirinya mundur ke belakang dan akhirnya terpeleset jatuh. Maafkan Fahar, bu." Kali ini giliran Fahar yang menangis tersedu-sedu.

Suara ketukan pintu terdengar dari rumah Malik. Malik yang ragu membuka pintu mula-mula melihat ke arah jendela. Ternyata itu adalah Fahar dan ayahnya. Tak lama kemudian ia melihat ibunya datang menyusul bersama seorang perempuan tua. Malik panik. Ia pergi dan mengunci kamarnya. Alimah mempersilahkan mereka untuk duduk lalu kemudian memanggil Malik yang sedang mengurung diri di kamar. Malik tak kunjung keluar. Namun akhirnya setelah Alimah terus membujuk Malik pun bersedia untuk keluar dari kamar.

Fahar akhirnnya meminta maaf atas kejadian yang menimpa Malik. Begitupun dengan ayahanya. Terlihat semburat kebahagiaan muncul dari wajah Malik. Fahar memberikan kardus kecil kepada Malik sambil berkata, "Fahar kembalikan kalung ini. Maafkan Fahar. Fahar tau ini jerih payah Malik dengan menabung uang jajan Malik untuk membeli kalung ini. Fahar benar-benar minta maaf, Fahar sangat menyesal." Malik tak kuasa melihat Fahar terlihat begitu menyedihkan. Malik pun menganggukkan kepalanya, tanda ia setuju untuk memaafkan Fahar.

Setelah keluarga Fahar pergi, Malik memberikan kardus kecil berisikan kalung emas kepada ibunya, Alimah. "Malik selama ini nabung buat bingkisan ini bu. Malik ingin memberikan hadiah untuk ibu."

Alimah tersenyum sambil memeluk Malik dengan penuh kehangatan. "Nak, bingkisan terbaik ibu adalah melihat Malik baik-baik saja. Melihat malik kembali ceria seperti sediakala. Melihat Malik pulih dan bangkit dari keadaan ini. Terimakasih, Nak. Ibu bangga sama Malik." Rasa syukur tak henti-hentinya Alimah panjatkan kepada Yang Maha Kuasa. Akhirnya ia dan anaknya bisa kembali bernapas lega. Alimah pun tak henti-hentinya bersyukur, karena Allah telah memberikannya bingkisan terbaik sepanjang hidupnya, yaitu Malik.


Posting Komentar

Halo sobat Aksara!
Jika mari berkomentar dengan memberikan gagasan atau pendapat yang terbaik, kita jauhi komentar yang mengandung hal yang tidak diinginkan yaa!

Lebih baru Lebih lama