Murid Menggurui

Oleh: Tuan Andanu
Dicatat di Sanggar Pembebasan.
Sabtu, 19 Januari 2019.
***
Pagi-pagi sekali,
Sejuk dihela nafas.
Matahari sudah bertengger.
Di ufuk Timur,
"Selamat pagi." Sapanya.
Buru-buru shalat dalam
shubuh yang kelewat pagi.
Dua rokaat dengan wirid yang sangat singkat.
Malu-malu pada Tuhan yang tidak pernah tidur,
"Aktivis kok banyak tidur." Sindirnya.
Tapi sindiran Tuhan berasa makna perhatian dari sikap pengasihnya yang penuh sayang.
***
Pagi, selamat...
Aku menoleh kantor yang sudah bersih dan rapih.
Rupanya santriwati membereskan semuanya sebelum shubuh ditelan pagi.
Pada meja mataku singgah,
Lalu ke kursi, ke tas, dan lemari.
"Batang rokok sisa semalam, kok tidak ada?"
Tak tenang, gerusuh.
Santriwati jadi ditanya,
"Neng, ningali rokok?"
***
Oh tidak!
Rokokku pindah ke tong sampah!
Bakonya basah dengan kulit kertas yang terkelupas.
Tidaaaakkkk!!!
Mata mendelik pada santriwati,
Mereka menunduk,
"Maaf..." pelasnya.
Antara malu dan takut.
Tapi delikanku tak mau berhenti memicing.
***
Gerutu!
Biar pun judulnya bersih-bersih kantor, rokok jangan dialihkan dari tempatnya. Ia punya fungsi dan tempatnya sendiri.
Ganti!!!
***
Lima menit lamanya,
Santriwati kembali dari warung,
Dengan wajah lebih tenang.
"Ini, a..."
Sebungkus rokok dikasihkannya.
Oh tidak!!!
Asli dibelikan?
Gila! Aslinya?
Santriwati hanya iyah-iyah saja.
Hei, mengganti bukan cara memelas maaf.
Membelikan bukan tanda permaafan.
Tapi untuk maaf dan permaafan, caramu itu cukup merayu kalungan maafku.
Dan lalu,
Pagiku kembali mengasap,
Seperti kabut di gunung syawal,
Angin pun menghembus kenyamanan.
Asap-asap beterbangan, dalam kepul-kepul kenikmatan.
***
Selamat, pagi...
Santriwati salah dalam kebenaranku,
Aku benar dalam kesalahannya.
"Salah benar aku yang tentukan."
Santriwati kembali ke asrama,
Dengan sapu dijinjing di tangan kiri, dan lap ditenteng di tangan kanan.
Pagi ceria.
Aku ketiban rijki sebungkus rokok baru,
Santriwati kehilangan rupiah 18 ribu.
Aku senang ada rokok tambahan, ia melamun kehilangan sebagian jatah makan.
Sebagai ustadz di negeri Indonesia,
Siapa juga yang menabuh genderang pertama,
Dimana masyarakat menganggap guru sebagai manusia yang sebiasa-biasanya,
Maka peduli amat dengan firman Tuhan soal ahli ilmu,
Aku tak mau kasih itu,
Toh masyarakat tak mau tahu.
Iya, 2019; Pertarungan antara telunjuk dan kelingking.
***
"Nikmat... Asap-asap mengepul dengan riang dan gembira."
Soal santriwati,
Ia salah dalam kebenaranku, apapun alasannya.
Selamat pagi kedigdayaan. Bila jadi presiden rumit berjuangnya, jadilah guru yang selalu benar di setiap salahnya.
Kini di guru-guru ada banyak debat lucu,
Seperti debat capres-Cawapres didikan guru-guru.
Baru beberapa hari lalu,
Reting baru dari kisah guru yang panennya gagal melulu?!
Maka,
Merokok saja!
Merokok membunuhmu,
Tak pandang murid atau guru,
Hisap saja, Tuan.
Biar mati semuanya sekalian.
Ini pesimisme, kata Presiden.
Ahhh,
Hanya beberapa deret Presiden berbicara,
Pesimisme makin tinggi saja.
***
Puteri-puteri bangsa punya penilaian,
Guru yang mengajarkan.
Siapa yang salah,
Maha benar guru dengan segala sabda didikannya.
Siapa yang benar,
Maha salah santri dengan segala didikan yang diterimanya.
***
Yang benar saja, kita salah karena benar?!
Dua puluh 19, ganti guru dan muridnya.
"Itu kuncinya." Pesan santriwati menahan lapar seharian panjang.
Sementara di Istana media TV,
Capres dan Cawapres, 4 Murid yang tetiba Mursyid.
Saling berdebat, berjuang mengelabui rahayat.
Ganti!
Hidup Nurhadi.

1 Komentar

Halo sobat Aksara!
Jika mari berkomentar dengan memberikan gagasan atau pendapat yang terbaik, kita jauhi komentar yang mengandung hal yang tidak diinginkan yaa!

Lebih baru Lebih lama