Chairil Anwar: Penyair yang Ingin Hidup Seribu Tahun Lagi

 

Chairil Anwar~Sumber: Pinterest


Dalam sebuah sajaknya, Chairil Anwar menyebut dirinya "Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya yang terbuang". Lalu Chairil Anwar juga menulis dengan optimis: " Aku ingin hidup seribu tahun lagi!". Namun, pada tahun terakhir menjelang kematiannya, dia sadar, "Hidup hanya menunda kekalahan… sebelum pada akhirnya kita menyerah." Ia meninggal pada tahun 1949 di usia yang relatif muda sekitar 27 tahun. 

Ia menderita dengan penuh paradoks. Tapi dari kemiskinan, penyair lurus berwajah tirus dan bermata merah ini, lahir sajak-sajak yang memperkaya bahasa Indonesia. Chairil Anwar menjadi ikon. Riwayat hidup dan puisi-puisinya memperkaya kita semua. Ia adalah perwujudan sepenuhnya dari pepatah Ars longa, Vita brevis. "Hidup itu singkat, seni itu abadi."

Baca juga Sang Legenda Sajak, Sapardi Djoko Damono

Kehidupan sang Binatang Jalang

Siapa yang tak kenal Penyair pelopor angkatan 45 ini, dia adalah Chairil Anwar si "Binatang Jalang" yang tak akan pernah menjadi jinak. Lahir pada tanggal 26 Juli 1922 di Medan, Sumatera Utara. Kedua orang tua Chairil Anwar berasal dari keluarga kelas atas. Ayahnya, Toeloes bin Manan, seorang controleur pegawai tinggi di era kolonial Belanda.

Ibunya, Saleha, putri bangsawan kota Gadang Sumatera Barat yang punya pertalian saudara dengan ayah Sutan Sjahrir—Perdana Menteri pertama Indonesia. Pernikahan Toeloes dan Saleha ternyata tak bisa dipertahankan. Toeloes menikah lagi dengan seorang perempuan asal Guguak, Payakumbuh, bernama Ramadana.

Chairil Anwar mengenyam pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS).Chairil Anwar melanjutkan sekolahnya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) setingkat SMP. Chairil tak menamatkan sekolahnya di MULO Medan, kemudian ia hijrah ke Jakarta pada tahun 1941 mengikuti ibunya, Saleha dan bersekolah di MULO Jakarta. Namuni ia hanya bersekolah di sana sampai kelas dua.

Sekitar 1943, Chairil Anwar mendapatkan pekerjaan di Kantor Mohammad Hatta, atas jasa Des Alwi. Mohammad Hatta kala itu mendapat posisi penting sebagai Kepala Kantor Penasihat Bala Tentara Jepang Pusat (Chuo Sangi In). Di kantor inilah Chairil Anwar bekerja sebagai penerjemah kantor statistik. Tugasnya menerjemahkan dan menyalin informasi dan data dari bahasa Jerman dan Belanda. 

Pada bulan Januari 1948, Chairil Anwar bekerja di Opbouw-pembangoenan dengan tugas khusus mencari naskah untuk dipublikasikan. Chairil mengelola majalah yang bernama Gema Suasana, Chairil menjadi anggota redaksi bersama Mochtar Apin, Rivai Apin, dan Baharudin Marasutan, dengan Asrul Sani sebagai sekretaris redaksi. Di kantor itu Chairil Anwar tidak betah. Chairil lalu merancang satu majalah baru bernama Air Pasang. Tapi rencana itu tidak pernah terwujud. 

Chairil Anwar kawin dengan Hapsah, seorang putri Haji Wiriaredjo pada tanggal 6 September 1946 di Karawang. Sebelumnya, Chairil Anwar pernah jatuh cinta kepada seorang gadis Jawa (Paron, Ngawi, Jawa Timur) yang bernama Sumirat. Akan tetapi, orang tua Sumirat tidak menyetujui perkawinan keduanya karena Chairil Anwar tidak mempunyai pekerjaan yang tetap.

Dari perkawinannya dengan Hapsah, Chairil Anwar dikaruniai seorang anak yang bernama Evawani Alissa yang biasa dipanggil Eva. Anaknya itu lahir pada tanggal 17 Juni 1947. Chairil Anwar akhirnya bercerai dengan Hapsah tanpa diketahui sebabnya. Eva dibawa oleh Hapsah. Pada usia 8 tahun, Eva baru mengetahui bahwa Chairil Anwar itu ayahnya. Anak semata wayangnya ini kemudian memperoleh pendidikan tinggi hukum dan berprofesi sebagai pengacara.

Sejak perceraian dengan Hapsah,, kesehatan Chairil Anwar menurun. Pada tanggal 23 April 1949 ia diopname di CBZ (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) karena sakit paru-paru. Pada tanggal 28 April 1949 Chairil Anwar meninggal dunia pukul 14.30. Jenazahnya dimakamkan pada tanggal 29 April 1949 di Pemakaman Umum Karet, Jakarta Selatan, dengan memperoleh perhatian besar dari masyarakat.

Di balik sajak "Aku"

Sajak Chairil Anwar yang terkenal dan merupakan gambaran hidupnya yang membersit-bersit juga individualistis ialah Aku (semangat). Dalam sajak inilah Chairil menyebut dirinya binatang jalang. Secara lengkap sajak tersebut adalah sebagai berikut:

AKU

Kalau sampai waktuku

‘Kumau tak seorang‘kan merayu

Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi.

Chairil Anwar mulai dikenal sebagai penyair pada tahun 1945. Pada suatu hari di tahun tersebut ia datang ke Redaksi Panji Pustaka membawa sajak-sajaknya. la minta pada redaktur yaitu Armyn Pane agar sajak-sajaknya dimuat dalam Panji Pustaka. Di antara sajak tersebut terdapat sajak "Aku". Tetapi ditolak oleh Armyn Pane karena sajak-sajaknya sangat individualistis. Terutama sajak Aku terlalu berbau pemujaan terhadap diri sendiri. Atas penolakan tersebut ternyata Chairil Anwar tidak sakit hati.

Menurut H.B. Jassin, sajak Aku ditolak sebenarnya bukan karena sajak itu buruk, melainkan karena lebih banyak menyangkut situasi pada saat pendudukan Jepang yang peka terhadap kata-kata yang dapat dituduh mengandung unsur-unsur agitatip dan sajak Aku memang mengandung bara api.  

Dari Panji Pustaka, "Aku" tiba di redaksi Majalah Timur yang dipegang oleh Nur Sutan lskandar, walaupun Nur Sutan lskandar tidak menyetujui sikap dan tampang Chairil Anwar. Tetapi ketika Chairil Anwar datang, Nur Sutan lskandar menyetujui dimuatnya "Aku" dalam majalah Timur dengan diubah judulnya menjadi " Semangat". Melalui sajak "Aku"nya tersebut Chairil Anwar kemudian terkenal dengan sebutan "Si Binatang Jalang" di kalangan teman-temannya.

Keunikan dan Karakteristik Sajak Chairil Anwar

Dalam menuliskan sajak-sajaknya, Chairil Anwar membawa perubahan yang radikal. Ia mempergunakan bahasa Indonesia yang hidup dan berjiwa. Bukan lagi bahasa buku melainkan bahasa percakapan sehari-hari yang dibuatnya bernilai sastra. Bentuk dan iramanya jauh dari pantun, syair, soneta, ataupun sajak bebas pujangga baru. lsinya seperti dibuat berisi listrik. 

Ini adalah pemberontakan yang terjadi dalam jiwa. Ukuran-ukuran lama dilemparkan semua. Kesombongan yang dilarang orang-orang tua mencapai puncaknya, maut ditantang dan di kesampingkan. Seperti halnya Ludwig Van Beethoven dalam bidang musik, Chairil Anwar telah menjadi lambang pemberontakan pembaruan tidak saja di dunia syair, tapi juga bahasa.

Sementara Beethoven seorang diri mengantarkan musik meninggalkan zaman klasik untuk memasuki zaman romantik, Chairil memimpin para penyair dan sastrawan membuang warisan angkatan pujangga baru untuk mengadopsi nilai-nilai baru angkatan 45.

Berbeda dengan angkatan pujangga baru yang masih terpesona pada lukisan "mooi indie" yang rupawan, Chairil Anwar menghadirkan kata "mampus" dan "hambus" yang dipinjamnya dalam dari bahasa daerah; kata-kata kasar, umpatan yang biasa diteriakkan di pasar atau di pelacuran dalam sajaknya yang menggelegar. Ia "Binatang Jalang" yang tak akan pernah menjadi jinak. Chairil Anwar pemberontak sejati dan lengkap yang menyatukan kata-kata puitisnya dengan kelakuan sehari-hari.Ia individualistis di antara bangsanya yang kolektif,

Ia utarakan di antara masyarakat yang masih mengindahkan sopan santun dan pemberontak terhadap nilai yang berlaku. Chairil mencuri buku-buku dari toko buku dan menjiplak karya orang lain seakan-akan tanpa merasa bersalah. Sajak Krawang-Bekasi yang senantiasa dibacakan dengan haru itu dianggap meniru "The young dead soldiers" karya penyair Amerika, Archibald Macleish. 

Tak kurang dari kritikus H,B. Jassin yang juga kawan baiknya mengakui bahwa Chairil mencuri sajak penyair Cina, "Hsu Chih-mo", yang diterjemahkan menjadi "Datang Dara Hilang Dara".

Chairil Anwar merupakan plagiat, tidak membayar utang kepada kawan kawannya, binal, gemar keluar masuk kompleks pelacuran. Namun kebesaran karya karyanya tidak juga pudar. Chairil dihujani banyak kritik, tapi semua orang seperti menyediakan ruang maaf yang amat besar kepadanya. Karena Chairil Anwar sang pemberontak seperti bagian dari bangsa Indonesia yang pernah ada dan terus dirindukan.

Penulis: Syahrul Sayiril Anwar
Editor: Zulfi Muhammad Ramadhan


Referensi

Ajip Rosidi, lkhtisar Sejarah Sastra Indonesia, Penerbit Binacipta, Cetakan II, 1976.

Hapsyah lsteri Chairil Anwar, "Saya dituduh tidak bisa selami Jiwa Chairil'", Majalah Pop, Th. 1 No. 9 - 1974.

Jassin H.B. Tifa penyair dan daerahnya, cetakan IV, Gunung Agung, Jakarta, 1965.

Tempo. (2017). Chairil Anwar: Bagimu Negeri Menyediakan Api. Seri Buku Saku Tempo. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).


Posting Komentar

Halo sobat Aksara!
Jika mari berkomentar dengan memberikan gagasan atau pendapat yang terbaik, kita jauhi komentar yang mengandung hal yang tidak diinginkan yaa!

Lebih baru Lebih lama