MUBALLIGHAT PERSISTRI

Ilustrasi Gambar: Canva oleh Aksara

Tahun 1963, Pak Kosam menyelenggarakan pengajian di SMA…penceramah dari ibu-ibu, dua-duanya dari Bandung, yaitu ibu Edoh dan ibu Iyom yang berkaos kaki. Ibu Edoh seorang istri dari ABRI. Beliau cantik, nyentrik dan lantang kalau berdakwah…Yang seorang lagi yang berkaos kaki itulah idolaku. Beliau anggun sekali cara bicaranya, cara duduknya, cara berpakaiannya. Cuma aku belum tahu bahwa memakai kaos kaki itu wajib, karena aurat. Aku mengira beliau itu sakit…Lama-kelamaan, ibu berkaos kaki itu tidak muncul lagi…Aku bertanya pada Ibu Tajudin: “Bu, kemana ibu yang berkaos kaki tidak suka ceramah lagi di SMA?” Ibu Tajudin menjawab: “Dia (ibu yang berkaos kaki) itu Persistri…(Rasmanah, 2016: 2-3). 

Cerita ini disampaikan oleh ibu Rasmanah Said Sulaeman, aktivis Persatuan Islam Istri (Persistri) Kabupaten Sumedang. Dalam tulisan memoarnya itu, ibu Rasmanah bercerita bagaimana ia mula-mula mengenal Persis dan Persistri yang berpaham Qur’an-Sunnah secara puritanistik di Kota Sumedang. Ia heran mengapa ibu penceramah yang diidolakannya itu tidak lagi hadir di majelis pengajian di sekolahnya. Dan, ternyata, ibu penceramah yang bernama Iyom itu sengaja “diberhentikan”. Hanya gara-gara ia diketahui adalah tasykil Persistri Bandung. 

Cerita itu sekaligus menjadi kisah suka-duka para muballighah (juru dakwah) Persistri dalam menjalankan jihad-perjuangannya di tengah masyarakat, khususnya dunia pengajian kaum hawa. Selalu ada aral melintang terhadap mereka. Tidak melulu berjalan mulus. Apalagi kalau hanya berputar-putar di sekitar “fulus”. Jika tidak ada niat yang lurus, jikalau tiada tekad baja pada diri muballighah-muballighah Persistri itu, niscaya mereka tidak akan tahan lama. Dan akan futur, “mundur-teratur” dari aktivitas dunia dakwah Persistri. 

Tapi tidak bagi muballighah yang bernama Bu Iyom itu. Ia tegak berdiri bagai batu karang. Ia bertabligh di kawasan Priangan, tidak hanya di Sumedang. Majalah Risalah tahun 1963/1964 sering memberitakan aktivitas dakwah ibu Iyom: Padalarang, Purwakarta, Sumedang, Ciawi (Tasik), Ciamis, Garut, dan daerah-daerah lainnya. 

Apakah ibu Iyom diantar-jemput dalam aktivitas dakwahnya itu? Ia tidak hanya harus berjibaku dengan materi khutbah, namun juga dengan akomodasinya. Ia harus berjibaku mencari kendaraan umum—yang tentu saja di era 1960-an itu bisa kita bayangkan kesulitannya. Majalah Risalah No. 35, Juni 1966 menceritakan suka-duka dunia dakwah—salah satunya yang dialami ibu Iyom—dengan judul “Tabligh dan Kendaraan” :

Ibu Iyom pernah hendak bertabligh di Padalarang. Beliau baru mendapatkan kendaraan untuk ke Padalarang djam 21.00 malam—sedang tabligh dimulai di Padalarang djam 20.00—Beliau berangkat. Dan beliau tiba ke tempat tabligh bertepatan dengan saat tabligh telah ditutup selesai, sebab terlalu larut!”.

Lebih jauh majalah kebanggaan Jam’iyyah itu mengisahkan bahwa sesungguhnya muballighah—seperti ibu Iyom itu—harus membagi waktu, karena mereka juga mempunyai kebutuhan-kebutuhan tersendiri. Ironi itu dituliskan sebagai berikut: “Tentu ia harus pulang malam itu djuga, agar paginja ia dapat bekerdja seperti biasa. Untuk itu kendaraan umum tidak dapat membantu dia!” (majalah Risalah, 1966: 20). 

Sebenarnya masih mending jika ada kendaraan umum yang mengantar para muballighah Persistri ini. Paling tidak, walaupun harus membayar ongkos yang tidak sedikit, para muballighah itu bisa beritirahat sejenak sebelum datang ke tempat pengajian. Bahkan, tidak jarang para muballighah Persistri itu harus berjalan kaki hingga ribuan meter, karena ketiadaan kendaraan, untuk menekuni dunia dakwah yang terjal. Sebuah fenomena yang membuat ta’jub terhadap “kekuatan Persistri” di era tahun 1960-an: 

Di sekitar tahun enam puluhan, di Priangan Timur, para muballighat harus sanggup berjalan kaki berkilometer. Di daerah Purwodadi, misalnya, tak kurang dari 7 kilometer yang harus diarungi…Jerih payah mereka tidak sia-sia. Sedikit demi sedikit, kaum ibu mulai tertarik pada pengajian.” (majalah Risalah, 1985: 16-17).

****

Siapakah Ibu Iyom itu? Pertanyaan yang lebih penting lagi: Mengapa bisa lahir kader Persistri handal seperti Ibu Iyom? Jelas, Persistri bisa berkembang karena ada kader-kader muballighah yang pantang menyerah untuk berdakwah pada kaum hawa. Ibu Iyom menjadi idola kaum remaja putri—sebagaimana testimoni ibu Rasmanah di atas. Para remaja putri itulah yang kemudian menjadi penerus, tongkat estafeta perjuangan Persistri terus bersambung. Fakta sejarah menunjukkan, bagaimana ibu Rasmanah tumbuh menjadi kader Persistri yang tangguh di Sumedang. Dimulai karena ia mengidolakan bu Iyom dalam mejelis pengajian di SMA-nya itu.    

Ibu Iyom adalah muballighah (juru dakwah) handal Persistri era tahun 1960-1970-an. Nama lengkapnya Iyom Sulaeman. Ia adalah salah satu kader terbaik Ibu R. Maryam Abdurrachman, Ketua Umum PP Persistri 1936-1956. Sebagai murid tokoh utama Persistri itu, Ibu Iyom adalah generasi kedua Persistri. Ia tidak ujug-ujug menjadi muballighah. Ia lahir dari proses kaderisasi Persistri. 

Sebelumnya, pada era 1930-1940an, terdapat nama-nama beken muballighah Persistri. selain R. Maryam, para muballighah itu di antaranya: Ny. E. Abdurrachman, Ny. Dahniar, Ny. Salha, Ny. Bintang, Siti Malehah, Siti Aliyah, RO Hasanah, dan Siti Nurjanah. Mereka inilah para juru dakwah Persistri generasi paling awal. 

Pengajian adalah media utama gerakan Persistri waktu itu, era Kolonial Belanda. Dalam aktivitasnya, Persistri melaksanakan beberapa kegiatan keagamaan seperti acara tablig khusus kaum ibu yang dipimpin oleh Nyonya E. Abdurrahman dan Nyonya Dahniar. Tablig rutin Persistri ini dilaksanakan setiap hari Senin sore di Mesjid Persis Jalan Pangeran Soemedang Bandung. Tablig ini tidak saja diikuti oleh ibu-ibu Persistri, tetapi juga ibu-ibu yang bukan anggota bahkan ibu-ibu dari organisasi-organisasi Islam lainnya. Di ibu kota Jakarta, Persistri cabang Tanah Abang juga mengadakan acara rutin tabligh untuk kaum hawa dua kali dalam sebulan. Tercatat pada 23 Pebruari 1936, Persistri pernah mengadakan tablig akbar di sekolah pendidikan Islam Oude Tamarindelaan 152, Batavia Centrum, yang dihadiri 250 orang kaum ibu dan remaja puteri.  

Nah, di samping mengadakan tablig-tablig untuk umum, Persistri juga mengadakan kursus kader muballighah. Dulu, pengajian khusus untuk kaderisasi ini dipimpin oleh Tuan A. D. Haani dan K.H. Muhammad Ramli. Materi pelajaran yang diberikan kepada ibu-ibu peserta Tamhiedul Mubalighah era Kolonial ini antara lain pelajaran ilmu tauhid oleh ibu R. Maryam, pengajaran ayat-ayat Al-Qur’an oleh Nyonya Dahniar, pengajaran ilmu akhlak serta soal-jawab masalah-masalah peribadatan oleh KH. Muhammad Ramli yang dibantu pula oleh Tuan A. D. Haani dan Tuan H. Azhari. 

Kursus kader Persistri ini berkembang terus pada masa kepemimpinan Bu R. Maryam (1936-1956). Kursus kader inilah yang kemudian pada tahun 1956—pada masa akhir kepemimpinan bu R. Maryam—menjelma menjadi Pesantren Persistri.

Peran Pesantren Persistri sangatlah krusial. Lembaga ini tumbuh-berkembang di era kepemimpinan ibu Hj. Chadijah Muchtar. Tak heran, jika pada waktu itu (1970-an) Persistri bisa mengembangkan sayap dakwahnya. Tak kurang dari 65 cabang Persistri berhasil didirikan di berbagai daerah, sebagai salah satu buah dari padanya.

Wallahu a’lam.


Pepen Irfan Fauzan

Merdeka-Grt, 120122 

Be A Bee!

Posting Komentar

Halo sobat Aksara!
Jika mari berkomentar dengan memberikan gagasan atau pendapat yang terbaik, kita jauhi komentar yang mengandung hal yang tidak diinginkan yaa!

Lebih baru Lebih lama